Friday 29 December 2017

Hal Kecil Yang (kita tidak tahu ternyata) Besar

Akhir tahun,

saya termenung.

Memikirkan betapa menakjubkannya 2017 ini.
Tapi, memang.. nggak ada yang lebih hebat dari 2015, men.

Entah kenapa,
nggak cuma saya (ternyata), yang merasa bahwa 2015 lah tahun terbaik sejauh ini.
Entah karena teknologi yang udah mentok di tahun tersebut, kemajuan yang udah cukup di tahun tersebut, perekonomian yang sudah mencukupi pula, krisis yang tidak merajalela, entahlah..
Tapi, kita berhak berjalan, waktu pun juga haruslah berlalu lalang.
Enak atau enggak enaknya kisah tiap tahun, ya... mau nggak mau, gimana kalau nggak nerima? :D

Tahun 2017 ini, saya belajar banyak hal, terutama tentang sebuah klise yang dulu saya remehkan tiap saya minta atau dimintai solusi.
Singkat cerita,
teman-teman dulu seringkali menceritakan masalahnya ke saya. Katanya, saya orang bisa memberi solusi *cuih*. Namanya juga masih SMP, masih proses menuju 'mengerti' kan. Dan sebuah solusi, dahulu..., kalau semakin belibet, dirasa semakin keren, dirasa semakin solutif, dirasa semakin punya rasa, dan akhirnya bisa diterima.
Saya dulu kalau kasih solusi panjang banget, ya mempan sih, tapi makin kesini.. saya ngerasa, solusi dalam sebuah masalah itu kuncinya ya cuma......kalau enggak, "Sabar" "Ikhlas" "Yang mudah menerima" "Bersyukur", udah.
Padahal, solusi-solusi itu seringkali direndahkan karena...... IT DIDN'T WORK! 
sebenernya... itu bukan it didn't work..
tapi, it didn't work...YET.

Dulu saya juga tipikal orang yang langsung, "Alaaa basi." Kalau dikasih solusi yang semacam begitu, karena.. ya apa ya.
Masalahnya panjang kali lebar, lah solusinya cuma 0 koma sekian. =))
Tapi makin kesini saya makin sadar, makin dewasa, makin rumit masalah yang dihadapi, pada akhirnya saya bisa nerima solusi-solusi itu perlahan. Dan itu yang jadi pedoman saya tiap saya ngadepin masalah.
Saya emang aneh, orangnya disembuhinnya lewat mental healing. Entah masalah begini ini bisa masuk ke ranah mental illness atau enggak, yang jelas... mental healing is really works for me.
Mental healing nya saya juga aneh, lewat kata-kata.
Akhir-akhir ini, saya dicekokin sama temen saya soal mindset "Wu Wei" atau istilahnya apa ya.... Doing without Doing gitu. Awalnya, saya ngerasa "Apa sih waweiwuwei?" nyatanya, saya kena juga terapinya. Saya jadi orang yang nyantai semenjak itu. Senyantai itu, senggak nuntut itu sama Tuhan, dan bisa sebersyukur itu baik dan buruknya hal yang terjadi.

Hehee.
Btw, ini salah kaprah.
Saya nggak mau ngomongin ini sebenernya.
Tapi,
ah..
mari kita lanjutkan aja. Maaf.
Manusia.
Hehe.

Suatu siang saya diberi pertanyaan sederhana, "Kalau kamu dikasih kesempatan buat ketemu satu orang dalam hidup kamu sebelum mati, kamu mau ketemu sama siapa?"
dan saya bingung jawabnya apa.. karena ini pertanyaan jenis apa, harus dijawab bagaimana.
Eh, nyatanya,.. pemberi pertanyaan menjawab "Kalau saya ingin diketemukan sama orang yang menolong saya waktu saya jatuh, saya lupa berterima kasih."

DARI SITU,
saya jadi......DHIEG.

Hehe.

Langsung, saya ingat seketika.. kejadian dimana saya benar-benar bersyukur bisa bertemu satu orang yang bisa mengubah saya jadi pemimpi seperti ini. Oiya, Nadya yang 4 tahun yang lalu, adalah Nadya yang sangat hopeless. Punya mimpi sih, sudah terealisasi, dan nyaman di zona nyaman *which is really dangerous*
Lalu, suatu siang di Jogja sekitar bulan Maret tahun 2014, saya mau ke Sewon usai dari Lempuyangan. Tahun 2014, belum ada Gojek atau Grab, saya pakainya Taksi Set*a K*w*n. Untung bukan Set*a N*o*v*a*n*t*o... eh, salah nyensor ya. Eh, kebanyakan bintang ya. Ngehehe:v
Saya duduk-duduk aja, nyantai.
Kemudian, terjalinlah percakapan sederhana.
Jogja kan penduduknya ramah, jadi saya paling suka banget kalau ngobrol sama orang sana, karena rasanya saya berlawanan banget sama diri saya yang pethakilan atau banyak tingkah. Hehe.
Percakapannya berjalan sesingkat ini :
Pak Supir : "Adek kelas berapa?"
Saya : "7 pak."
Pak Supir : "Dari?"
Saya : "Mojokerto, Pak. Hehe. Deket Surabaya."
Pak Supir : "Oh iya iya. Rencana mau ke SMA mana?"
Mendadak ini orang nanya tujuan kan. Saya iseng tuh karena lagi gamblang.
Saya : "Nggak tahu pak, saya bingung. Saya mau cari sekolah yang musiknya unggul." *Nadya pada jamannya ngeband dan mengesampingkan pendidikan=))
Pak Supir : "Oh, kenapa nggak sekolah di Jogja aja?"
Saya : "Hehe, pengen sih pak. Sudah nyaman juga sama Jogja. Tapi, jauh. Belum tentu dibolehkan juga."
Pak Supir : "Di SMA 3 tuh, dek. Bagus, lho. Musiknya juga unggul. Segalanya, deh unggul."
Saya cuma ber oh oh ria. Karena enggak ngerti SMA 3 itu dimana, dan entahlah...

Dan suatu ketika, saya ngobrol sama sahabat saya di suatu malam, dia punya mimpi untuk ke SMA Taruna Nusantara, yang memang diakui keemasannya sampai sekarang juga. Dan iseng-iseng, saya browsing soal SMA yang dikata Bapak Taksi waktu itu. Ternyata, hasilnya...... *browsing aja Padmanaba and see how great it is:')*

Saya tiba-tiba terlonjak gitu, semacam ada energi yang bikin saya mau buat bermimpi. Rasanya.....
NIKMAAAAATT WOIIII :'))))
Ternyata punya mimpi itu asyik!
Sampai sekarang pun, saya tetap jadi pemimpi yang nggak se hopeless dulu! :'D

Tapi, sayang banget, di kesekian kalinya saya ke Jogja pada 2014, saya nggak lagi menemukan Bapak itu. Dan yang saya sesali, saya belum berterima kasih.
-
Yaaa begitu.., di akhir tahun 2017 ini, saya niatnya cuma mau mengajak kita semua merenungi, tentang pelajaran terbesar yang harusnya kita dapat sejak dulu dan kita terapkan sejak dulu.
Yaitu..
BERTERIMA KASIH.

Ya, sesimpel itu.
Terima kasih.

Kata yang sebenarnya sudah fasih,
tapi kita terus saja masih,
menahan-nahan untuk mengasih.

Hehe.

Seriiiiiinnnggggkali, kita lupa, hal terkecil dan termudah yang bisa kita kasih adalah 'terima kasih'.
Hal kecil lah, bertanya.. dan diberi jawabannya.. terus kita lupa terima kasih.
Apa lagi?
Oh iya, bertemu dengan seseorang dan ada yang bisa dibawa pulang-secara nonmateriil;pelajaran baru, ide baru, prinsip baru, dsb;, terus live along the life aja seakan-akan hidup kamu fine without everyone you've met.
Padahal nih, kenyataannya, yang bisa ngebuat hidup lebih berwarna itu adalah orang-orang yang kamu temuin tiap hari.
Sadar nggak? Nggak kan?
Ya gitu emang, susah :v

Sadar nggak sih, kita ini masih, apa ya.. tidak mengerti atau bahkan tidak menyadari hal terkecil dalam hidup, yang padahal... sesuai peribahasa juga 'sedikit-sedikit menjadi bukit'. Itu nggak hanya berlaku nominal, tapi juga dalam hampir segala hal, seperti contohnya moral.
Kalau saja, kita bisa memupuk terima kasih hingga tertumpuk, ya.. kita nggak akan jadi manusia yang tertimpuk dan minta di puk-puk.

Lah Nad, kenapa di puk-puk? Ya soalnya saking krisis moralnya. -_-

Hehe.

Kenapa menurut saya berwarnanya hidup ini bisa datang dari gimana kita bertemu sama tiap orang? Simple.
Cause everyone lives, and their life has its own story, has its own taste, has its own way.

Terasa dan kentara sekali memang hal ini di 2017 saya.
Saya bertemu banyak orang baru, atau mungkin bertemu orang lama, yang saya baru tahu orang ini bagaimana.
Dulu mungkin saya terlalu menutup diri untuk menerima pelajaran baru dari tiap orang yang saya temui, dan akhirnya lupa berterima kasih kepada Tuhan saya bisa ditemukan dengan seseorang, siapapun itu.

Nyatanya, di 2017 ini, setelah saya mengalami tragedi hebat di Januari yang pernah saya ceritakan juga tapi nggak detail karena yah.......*PFFFTT*, saya jadi belajar bisa berterima kasih kepada Tuhan, ternyata semenakjubkan itu bersyukur bisa dipertemukan dengan orang-orang yang (bahkan mereka tidak tahu mereka) sedikit banyak mengubah hidup saya.

Kamu begitu tidak?

Jujur saja,
saya sebenarnya bukan orang yang peka dengan beberapa hal-hal kecil, :v tapi.. ketika saya peka dan saya jadi tahu akan hal itu, saya menghargai bukan main.
Alhasil, mudah saja, saya jadi tahu lho, ternyata memaknai hidup itu caranya mudah.
Banyak yang mengeluh, hidupnya tidak punya makna, atau mungkin tidak punya rasa, padahal.. hanya dari bertemu siapapun yang kamu temui tiap harinya, hidup itu sebenarnya punya rasa, dan punya makna.
Makna dari tiap pertemuan, dari tiap lisan yang bercerita, dari tiap cerita yang kamu dengar, dari pendengaran yang kamu rasakan, dan rasa yang akhirnya punya makna.

Mungkin, mereka yang kamu temui tidak sadar bahwa dari cerita mereka, atau dari hal yang mereka beritahu ke kita, bisa jadi berarti buat kita. Mengapa? Yahhh, suatu pelajaran terkadang datangnya nggak terjamah oleh kesadaran semata. Itu datang seketika, amat tiba-tiba.
Kita hanya harus pintar-pintar menyadari bahwa sebenarnya hal kecil ini berarti juga dan patut
disyukuri dan diterima dengan kasih.

Saya saat ini lebih bisa menghargai momen dimana saya bisa bertemu seseorang dan belajar banyak darinya, siapapun itu, dimanapun itu.
Bertemu dengan orang yang sangat antagonis pun bisa saya maknai, karena darinya saya jadi pribadi yang kuat.
Bertemu dengan orang yang munafik pun seringkali terjadi di kehidupan, tapi apalah guna menolak? Kan itu juga nggak sepayah itu. Dari orang munafik pun, saya bisa belajar banyak.
Dari orang yang saya puja nyatanya hanya memberi lara, juga bisa jadi indah kalau dimaknai dengan tepat.
Bahkan dari pelacur pun, yang mungkin bagi banyak orang tidak ada harganya, saya bisa belajar banyak.
Dan dari orang yang dikata jahat pun, gila... kita hanya belum tahu, bahwa... seperti kutipan favorit yang saya suka, "the nicest people i've ever met is covered with tattoos than people who go to church every Sunday"

Ya itu lho,
sadarsi akan esensi.

Simple kan,
berterima kasih, dan maknai tiap hal yang kamu temui dari masing-masing orang.
Nggak banyak yang kita lakukan, cukup menjalani hidup dengan semestinya, dan maknai apa yang kita dapat tiap hari, baik dan buruknya hal itu... dan berterima kasih.

Jangan lupa berterima kasih ya, baik dan buruknya orang itu, hari itu, momen itu.
Kalau malu untuk berterima kasih, ucapkan dalam hati, dan terima kasih sama Tuhan alias bersyukur sudah diberi kesempatan untuk ketemu sama orang yang bisa ngasih pelajaran tanpa disadari.
Bukan masalah kok, jika mereka yang kamu anggap bisa memberi pelajaran ke kamu tidak tahu betapa berartinya mereka bagimu, tetapi setidaknya.. kamu yang mampu menjadikan hal itu berarti atau tidak.


Terima kasih untuk kalian semua yang membuat Nadya jadi begini.
Yang terkasih, maupun yang bukan terkasih:'D
Selamat Tahun Baru,
jangan lupa jadi pribadi yang lebih baik,
yang mampu terbiasa menghargai hal kecil hingga tahu akhirnya hal kecil itu ternyata besar! :)

Selamat menyadari tiap hari, selamat memaknai sebuah esensi!! ;)

Monday 11 December 2017

Do People Change or Just Growing Up?

Halo, Readers.

Banyak orang berkata,

Time flies.

Dan atas perkataan itu pula, mereka berargumen,

People change.


---

Saya berpikiran mengenai argumen tersebut.
Apakah orang-orang memang pada dasarnya berubah seiring berjalannya waktu?
Well.,
Yes! They are!
Bahkan saya juga sedang merasakan itu.

Aneh.


Beberapa orang mungkin tersadar akan perubahan dalam dirinya karena diberi tahu oleh orang lain, tetapi yang terjadi dalam diri saya saat ini adalah sebaliknya. Terkadang saat terdiam, seperti biasa, nggak hanya sekedar diam tapi diam dengan sejuta argumen diatas pikiran, saya selalu merasa, "Lah, saya ini kenapa sih ya?" Dan barulah saya sadar ternyata ada sesuatu yang berbeda dari diri saya, entah dari aspek apapun. Kemudian selanjutnya, barulah saya tersadar ternyata saya berubah.


But..


Basically,
people not change,
they're just growing up.


Itu sih menurut saya.
Entah kamu semua beropini yang seperti apa, tapi yang jelas, orang itu berubah karena suatu alasan.
Dan alasan-alasan yang membuat seseorang berubah adalah karena segala hal yang pernah terjadi di dalam hidup mereka.

Semua orang pasti mengalami banyak hal dalam hidupnya, bukan? Mulai dari hal yang sedih, senang, ataupun hal-hal yang... yaaaah, standart alias biasa aja.
Tapi, anehnya, saya justru lebih suka hal yang disebut 'tragedi'. Hahaha, suka bukan berarti mengharapkan hal ini selamanya terjadi loh, ya? Beda.

Kenapa saya lebih suka tragedi? Bukannya enggak suka hal yang menyenangkan, lho. Tetapi, secara nggak sadar, tragedi itu lebih condong positif untuk kedepannya. Walaupun beberapa orang kelihatannya takut akan tragedi, trauma akan tragedi, tetapi sebenarnya dalam suatu tragedi, dari suatu tragedi, kamu bisa belajar banyak hal.
Akan ada banyak hal indah dibalik hal yang buruk. Gak selamanya tragedi itu membekaskan luka, terkadang mereka juga menyisakan banyak pelajaran.
Semua hal yang lampau itu masuk ke dalam memori, apalagi tragedi.

Nah, inilah penyebab utama kenapa orang itu berubah.
T-R-A-G-E-D-I.
Tragedi. Yes.

Kenapa tragedi?
Kan tadi juga sempet saya singgung, 'dari tragedi, kamu bisa belajar'.
Supaya, kamu nggak bakal lagi tuh ketemu lagi sama yang namanya 'tragedi kedua'. Udah kayak lagunya Raisa aja pake kali kedua segala. Mwehe:v

Dari tragedi, kamu itu diajarkan untuk nggak melakukan hal bodoh lagi yang bisa merugikan diri kamu sendiri. Gitu sih.
That's why people change.
Mereka nggak mau untuk jatuh ke lubang yang sama. Yaah, orang mana sih yang mau jatuh lagi ke lubang yang sama? Kalo lubangnya kayak yang di film Alice In Wonderland, ada sih kemungkinan orang yang mau kesana. Tapi, jujur.. kalau saya sih, tetep ogah. Nggak tahu apa repotnya ngelawan Jabberwocky? *oke ini keluar topik, mohon saya dimaafkan*

Tapi, sempat nggak kalian mendengar suatu pernyataan, "Balikan sama mantan itu udah kayak baca buku dua kali, endingnya sama aja."

Saya, kayaknya kurang setuju sama pernyataan itu.
Yahh terdengar masuk akal juga kalau kalian disakitin terus, putus, terus balikan lagi. Ya sama aja gitu kan, nantinya juga bakal disakitin. Tapi kan itu menurut mereka-mereka yang desperately hurted. Hehe.

Kalau saya yang disuruh menanggapi pernyataan itu, jujur dari lubuk hati paling dalam saya lantang menyatakan, saya tidak setuju. *bukan karena saya pernah balikan atau gimana, woi saya nggak sedefensif itu:v*
TAAPIII..
Let's see things from different perspective.
Kalau kamu suka baca buku gitu kan, biasanya ada tuh.. buku yang kalau dibaca berulang-ulang, baru ngeh ini maksudnya gimana.
Ya sama seperti hubungan. Kalau memang dirasa belum memahami satu sama lain, balikan itu sah-sah aja, nggak papa nggak papa aja. Biar endingnya sama, tapi kan penafsirannya beda. Beda arti jadinya. Beda rasa jadinya. Heleeeh :3

Sama halnya sama tragedi.
Kalau terjadinya berulang kali, ya sah-sah aja, nggak papa nggak papa aja. Tapi penafsirannya juga beda. Seseorang juga jelas akan lebih ngerti, "Oh maksud Tuhan itu gini ternyata ngasih gue tragedi begini." "Oh, ternyata setelah gue gini, gue jadi gini ya." "Eh, semenjak ada kejadian itu, gue jadi lebih ngerti lho musti gimana." "Eh rasanya lebih enak ya ternyata kalau gue melakukan ini." and stuffs.

Yeaaaah, i think that's why we're all changing  grown up.

Jangan takut sama tragedi, mereka membantu kita untuk jadi lebih baik. (Karena kita semua tahu, Tuhan kasih hal itu ada tujuannya, ada hikmahnya)
Jangan lupa bersyukur, baik dan buruknya hal yang kamu terima, itu membantu kita untuk jadi lebih bijaksana.
Jangan lupa lihat sesuatu dari berbagai perspeksi, biar semua terasanya lebih punya makna, dan nggak sia-sia begitu saja.

Selamat memaknai tragedi,

karena hidup nggak cuma soal menyenangkan hati.






Regards,


the one who loves her tragedy and turn it out to beauty in life and behavior
and (i wish) so are you.{}

trite

i alw ays won der are The Smiths re ally be honest , for the h e avenly fe e li n gs o f de ad by yo u r sid e. bec ause by on ly seeing ...