Friday 29 December 2017

Hal Kecil Yang (kita tidak tahu ternyata) Besar

Akhir tahun,

saya termenung.

Memikirkan betapa menakjubkannya 2017 ini.
Tapi, memang.. nggak ada yang lebih hebat dari 2015, men.

Entah kenapa,
nggak cuma saya (ternyata), yang merasa bahwa 2015 lah tahun terbaik sejauh ini.
Entah karena teknologi yang udah mentok di tahun tersebut, kemajuan yang udah cukup di tahun tersebut, perekonomian yang sudah mencukupi pula, krisis yang tidak merajalela, entahlah..
Tapi, kita berhak berjalan, waktu pun juga haruslah berlalu lalang.
Enak atau enggak enaknya kisah tiap tahun, ya... mau nggak mau, gimana kalau nggak nerima? :D

Tahun 2017 ini, saya belajar banyak hal, terutama tentang sebuah klise yang dulu saya remehkan tiap saya minta atau dimintai solusi.
Singkat cerita,
teman-teman dulu seringkali menceritakan masalahnya ke saya. Katanya, saya orang bisa memberi solusi *cuih*. Namanya juga masih SMP, masih proses menuju 'mengerti' kan. Dan sebuah solusi, dahulu..., kalau semakin belibet, dirasa semakin keren, dirasa semakin solutif, dirasa semakin punya rasa, dan akhirnya bisa diterima.
Saya dulu kalau kasih solusi panjang banget, ya mempan sih, tapi makin kesini.. saya ngerasa, solusi dalam sebuah masalah itu kuncinya ya cuma......kalau enggak, "Sabar" "Ikhlas" "Yang mudah menerima" "Bersyukur", udah.
Padahal, solusi-solusi itu seringkali direndahkan karena...... IT DIDN'T WORK! 
sebenernya... itu bukan it didn't work..
tapi, it didn't work...YET.

Dulu saya juga tipikal orang yang langsung, "Alaaa basi." Kalau dikasih solusi yang semacam begitu, karena.. ya apa ya.
Masalahnya panjang kali lebar, lah solusinya cuma 0 koma sekian. =))
Tapi makin kesini saya makin sadar, makin dewasa, makin rumit masalah yang dihadapi, pada akhirnya saya bisa nerima solusi-solusi itu perlahan. Dan itu yang jadi pedoman saya tiap saya ngadepin masalah.
Saya emang aneh, orangnya disembuhinnya lewat mental healing. Entah masalah begini ini bisa masuk ke ranah mental illness atau enggak, yang jelas... mental healing is really works for me.
Mental healing nya saya juga aneh, lewat kata-kata.
Akhir-akhir ini, saya dicekokin sama temen saya soal mindset "Wu Wei" atau istilahnya apa ya.... Doing without Doing gitu. Awalnya, saya ngerasa "Apa sih waweiwuwei?" nyatanya, saya kena juga terapinya. Saya jadi orang yang nyantai semenjak itu. Senyantai itu, senggak nuntut itu sama Tuhan, dan bisa sebersyukur itu baik dan buruknya hal yang terjadi.

Hehee.
Btw, ini salah kaprah.
Saya nggak mau ngomongin ini sebenernya.
Tapi,
ah..
mari kita lanjutkan aja. Maaf.
Manusia.
Hehe.

Suatu siang saya diberi pertanyaan sederhana, "Kalau kamu dikasih kesempatan buat ketemu satu orang dalam hidup kamu sebelum mati, kamu mau ketemu sama siapa?"
dan saya bingung jawabnya apa.. karena ini pertanyaan jenis apa, harus dijawab bagaimana.
Eh, nyatanya,.. pemberi pertanyaan menjawab "Kalau saya ingin diketemukan sama orang yang menolong saya waktu saya jatuh, saya lupa berterima kasih."

DARI SITU,
saya jadi......DHIEG.

Hehe.

Langsung, saya ingat seketika.. kejadian dimana saya benar-benar bersyukur bisa bertemu satu orang yang bisa mengubah saya jadi pemimpi seperti ini. Oiya, Nadya yang 4 tahun yang lalu, adalah Nadya yang sangat hopeless. Punya mimpi sih, sudah terealisasi, dan nyaman di zona nyaman *which is really dangerous*
Lalu, suatu siang di Jogja sekitar bulan Maret tahun 2014, saya mau ke Sewon usai dari Lempuyangan. Tahun 2014, belum ada Gojek atau Grab, saya pakainya Taksi Set*a K*w*n. Untung bukan Set*a N*o*v*a*n*t*o... eh, salah nyensor ya. Eh, kebanyakan bintang ya. Ngehehe:v
Saya duduk-duduk aja, nyantai.
Kemudian, terjalinlah percakapan sederhana.
Jogja kan penduduknya ramah, jadi saya paling suka banget kalau ngobrol sama orang sana, karena rasanya saya berlawanan banget sama diri saya yang pethakilan atau banyak tingkah. Hehe.
Percakapannya berjalan sesingkat ini :
Pak Supir : "Adek kelas berapa?"
Saya : "7 pak."
Pak Supir : "Dari?"
Saya : "Mojokerto, Pak. Hehe. Deket Surabaya."
Pak Supir : "Oh iya iya. Rencana mau ke SMA mana?"
Mendadak ini orang nanya tujuan kan. Saya iseng tuh karena lagi gamblang.
Saya : "Nggak tahu pak, saya bingung. Saya mau cari sekolah yang musiknya unggul." *Nadya pada jamannya ngeband dan mengesampingkan pendidikan=))
Pak Supir : "Oh, kenapa nggak sekolah di Jogja aja?"
Saya : "Hehe, pengen sih pak. Sudah nyaman juga sama Jogja. Tapi, jauh. Belum tentu dibolehkan juga."
Pak Supir : "Di SMA 3 tuh, dek. Bagus, lho. Musiknya juga unggul. Segalanya, deh unggul."
Saya cuma ber oh oh ria. Karena enggak ngerti SMA 3 itu dimana, dan entahlah...

Dan suatu ketika, saya ngobrol sama sahabat saya di suatu malam, dia punya mimpi untuk ke SMA Taruna Nusantara, yang memang diakui keemasannya sampai sekarang juga. Dan iseng-iseng, saya browsing soal SMA yang dikata Bapak Taksi waktu itu. Ternyata, hasilnya...... *browsing aja Padmanaba and see how great it is:')*

Saya tiba-tiba terlonjak gitu, semacam ada energi yang bikin saya mau buat bermimpi. Rasanya.....
NIKMAAAAATT WOIIII :'))))
Ternyata punya mimpi itu asyik!
Sampai sekarang pun, saya tetap jadi pemimpi yang nggak se hopeless dulu! :'D

Tapi, sayang banget, di kesekian kalinya saya ke Jogja pada 2014, saya nggak lagi menemukan Bapak itu. Dan yang saya sesali, saya belum berterima kasih.
-
Yaaa begitu.., di akhir tahun 2017 ini, saya niatnya cuma mau mengajak kita semua merenungi, tentang pelajaran terbesar yang harusnya kita dapat sejak dulu dan kita terapkan sejak dulu.
Yaitu..
BERTERIMA KASIH.

Ya, sesimpel itu.
Terima kasih.

Kata yang sebenarnya sudah fasih,
tapi kita terus saja masih,
menahan-nahan untuk mengasih.

Hehe.

Seriiiiiinnnggggkali, kita lupa, hal terkecil dan termudah yang bisa kita kasih adalah 'terima kasih'.
Hal kecil lah, bertanya.. dan diberi jawabannya.. terus kita lupa terima kasih.
Apa lagi?
Oh iya, bertemu dengan seseorang dan ada yang bisa dibawa pulang-secara nonmateriil;pelajaran baru, ide baru, prinsip baru, dsb;, terus live along the life aja seakan-akan hidup kamu fine without everyone you've met.
Padahal nih, kenyataannya, yang bisa ngebuat hidup lebih berwarna itu adalah orang-orang yang kamu temuin tiap hari.
Sadar nggak? Nggak kan?
Ya gitu emang, susah :v

Sadar nggak sih, kita ini masih, apa ya.. tidak mengerti atau bahkan tidak menyadari hal terkecil dalam hidup, yang padahal... sesuai peribahasa juga 'sedikit-sedikit menjadi bukit'. Itu nggak hanya berlaku nominal, tapi juga dalam hampir segala hal, seperti contohnya moral.
Kalau saja, kita bisa memupuk terima kasih hingga tertumpuk, ya.. kita nggak akan jadi manusia yang tertimpuk dan minta di puk-puk.

Lah Nad, kenapa di puk-puk? Ya soalnya saking krisis moralnya. -_-

Hehe.

Kenapa menurut saya berwarnanya hidup ini bisa datang dari gimana kita bertemu sama tiap orang? Simple.
Cause everyone lives, and their life has its own story, has its own taste, has its own way.

Terasa dan kentara sekali memang hal ini di 2017 saya.
Saya bertemu banyak orang baru, atau mungkin bertemu orang lama, yang saya baru tahu orang ini bagaimana.
Dulu mungkin saya terlalu menutup diri untuk menerima pelajaran baru dari tiap orang yang saya temui, dan akhirnya lupa berterima kasih kepada Tuhan saya bisa ditemukan dengan seseorang, siapapun itu.

Nyatanya, di 2017 ini, setelah saya mengalami tragedi hebat di Januari yang pernah saya ceritakan juga tapi nggak detail karena yah.......*PFFFTT*, saya jadi belajar bisa berterima kasih kepada Tuhan, ternyata semenakjubkan itu bersyukur bisa dipertemukan dengan orang-orang yang (bahkan mereka tidak tahu mereka) sedikit banyak mengubah hidup saya.

Kamu begitu tidak?

Jujur saja,
saya sebenarnya bukan orang yang peka dengan beberapa hal-hal kecil, :v tapi.. ketika saya peka dan saya jadi tahu akan hal itu, saya menghargai bukan main.
Alhasil, mudah saja, saya jadi tahu lho, ternyata memaknai hidup itu caranya mudah.
Banyak yang mengeluh, hidupnya tidak punya makna, atau mungkin tidak punya rasa, padahal.. hanya dari bertemu siapapun yang kamu temui tiap harinya, hidup itu sebenarnya punya rasa, dan punya makna.
Makna dari tiap pertemuan, dari tiap lisan yang bercerita, dari tiap cerita yang kamu dengar, dari pendengaran yang kamu rasakan, dan rasa yang akhirnya punya makna.

Mungkin, mereka yang kamu temui tidak sadar bahwa dari cerita mereka, atau dari hal yang mereka beritahu ke kita, bisa jadi berarti buat kita. Mengapa? Yahhh, suatu pelajaran terkadang datangnya nggak terjamah oleh kesadaran semata. Itu datang seketika, amat tiba-tiba.
Kita hanya harus pintar-pintar menyadari bahwa sebenarnya hal kecil ini berarti juga dan patut
disyukuri dan diterima dengan kasih.

Saya saat ini lebih bisa menghargai momen dimana saya bisa bertemu seseorang dan belajar banyak darinya, siapapun itu, dimanapun itu.
Bertemu dengan orang yang sangat antagonis pun bisa saya maknai, karena darinya saya jadi pribadi yang kuat.
Bertemu dengan orang yang munafik pun seringkali terjadi di kehidupan, tapi apalah guna menolak? Kan itu juga nggak sepayah itu. Dari orang munafik pun, saya bisa belajar banyak.
Dari orang yang saya puja nyatanya hanya memberi lara, juga bisa jadi indah kalau dimaknai dengan tepat.
Bahkan dari pelacur pun, yang mungkin bagi banyak orang tidak ada harganya, saya bisa belajar banyak.
Dan dari orang yang dikata jahat pun, gila... kita hanya belum tahu, bahwa... seperti kutipan favorit yang saya suka, "the nicest people i've ever met is covered with tattoos than people who go to church every Sunday"

Ya itu lho,
sadarsi akan esensi.

Simple kan,
berterima kasih, dan maknai tiap hal yang kamu temui dari masing-masing orang.
Nggak banyak yang kita lakukan, cukup menjalani hidup dengan semestinya, dan maknai apa yang kita dapat tiap hari, baik dan buruknya hal itu... dan berterima kasih.

Jangan lupa berterima kasih ya, baik dan buruknya orang itu, hari itu, momen itu.
Kalau malu untuk berterima kasih, ucapkan dalam hati, dan terima kasih sama Tuhan alias bersyukur sudah diberi kesempatan untuk ketemu sama orang yang bisa ngasih pelajaran tanpa disadari.
Bukan masalah kok, jika mereka yang kamu anggap bisa memberi pelajaran ke kamu tidak tahu betapa berartinya mereka bagimu, tetapi setidaknya.. kamu yang mampu menjadikan hal itu berarti atau tidak.


Terima kasih untuk kalian semua yang membuat Nadya jadi begini.
Yang terkasih, maupun yang bukan terkasih:'D
Selamat Tahun Baru,
jangan lupa jadi pribadi yang lebih baik,
yang mampu terbiasa menghargai hal kecil hingga tahu akhirnya hal kecil itu ternyata besar! :)

Selamat menyadari tiap hari, selamat memaknai sebuah esensi!! ;)

Monday 11 December 2017

Do People Change or Just Growing Up?

Halo, Readers.

Banyak orang berkata,

Time flies.

Dan atas perkataan itu pula, mereka berargumen,

People change.


---

Saya berpikiran mengenai argumen tersebut.
Apakah orang-orang memang pada dasarnya berubah seiring berjalannya waktu?
Well.,
Yes! They are!
Bahkan saya juga sedang merasakan itu.

Aneh.


Beberapa orang mungkin tersadar akan perubahan dalam dirinya karena diberi tahu oleh orang lain, tetapi yang terjadi dalam diri saya saat ini adalah sebaliknya. Terkadang saat terdiam, seperti biasa, nggak hanya sekedar diam tapi diam dengan sejuta argumen diatas pikiran, saya selalu merasa, "Lah, saya ini kenapa sih ya?" Dan barulah saya sadar ternyata ada sesuatu yang berbeda dari diri saya, entah dari aspek apapun. Kemudian selanjutnya, barulah saya tersadar ternyata saya berubah.


But..


Basically,
people not change,
they're just growing up.


Itu sih menurut saya.
Entah kamu semua beropini yang seperti apa, tapi yang jelas, orang itu berubah karena suatu alasan.
Dan alasan-alasan yang membuat seseorang berubah adalah karena segala hal yang pernah terjadi di dalam hidup mereka.

Semua orang pasti mengalami banyak hal dalam hidupnya, bukan? Mulai dari hal yang sedih, senang, ataupun hal-hal yang... yaaaah, standart alias biasa aja.
Tapi, anehnya, saya justru lebih suka hal yang disebut 'tragedi'. Hahaha, suka bukan berarti mengharapkan hal ini selamanya terjadi loh, ya? Beda.

Kenapa saya lebih suka tragedi? Bukannya enggak suka hal yang menyenangkan, lho. Tetapi, secara nggak sadar, tragedi itu lebih condong positif untuk kedepannya. Walaupun beberapa orang kelihatannya takut akan tragedi, trauma akan tragedi, tetapi sebenarnya dalam suatu tragedi, dari suatu tragedi, kamu bisa belajar banyak hal.
Akan ada banyak hal indah dibalik hal yang buruk. Gak selamanya tragedi itu membekaskan luka, terkadang mereka juga menyisakan banyak pelajaran.
Semua hal yang lampau itu masuk ke dalam memori, apalagi tragedi.

Nah, inilah penyebab utama kenapa orang itu berubah.
T-R-A-G-E-D-I.
Tragedi. Yes.

Kenapa tragedi?
Kan tadi juga sempet saya singgung, 'dari tragedi, kamu bisa belajar'.
Supaya, kamu nggak bakal lagi tuh ketemu lagi sama yang namanya 'tragedi kedua'. Udah kayak lagunya Raisa aja pake kali kedua segala. Mwehe:v

Dari tragedi, kamu itu diajarkan untuk nggak melakukan hal bodoh lagi yang bisa merugikan diri kamu sendiri. Gitu sih.
That's why people change.
Mereka nggak mau untuk jatuh ke lubang yang sama. Yaah, orang mana sih yang mau jatuh lagi ke lubang yang sama? Kalo lubangnya kayak yang di film Alice In Wonderland, ada sih kemungkinan orang yang mau kesana. Tapi, jujur.. kalau saya sih, tetep ogah. Nggak tahu apa repotnya ngelawan Jabberwocky? *oke ini keluar topik, mohon saya dimaafkan*

Tapi, sempat nggak kalian mendengar suatu pernyataan, "Balikan sama mantan itu udah kayak baca buku dua kali, endingnya sama aja."

Saya, kayaknya kurang setuju sama pernyataan itu.
Yahh terdengar masuk akal juga kalau kalian disakitin terus, putus, terus balikan lagi. Ya sama aja gitu kan, nantinya juga bakal disakitin. Tapi kan itu menurut mereka-mereka yang desperately hurted. Hehe.

Kalau saya yang disuruh menanggapi pernyataan itu, jujur dari lubuk hati paling dalam saya lantang menyatakan, saya tidak setuju. *bukan karena saya pernah balikan atau gimana, woi saya nggak sedefensif itu:v*
TAAPIII..
Let's see things from different perspective.
Kalau kamu suka baca buku gitu kan, biasanya ada tuh.. buku yang kalau dibaca berulang-ulang, baru ngeh ini maksudnya gimana.
Ya sama seperti hubungan. Kalau memang dirasa belum memahami satu sama lain, balikan itu sah-sah aja, nggak papa nggak papa aja. Biar endingnya sama, tapi kan penafsirannya beda. Beda arti jadinya. Beda rasa jadinya. Heleeeh :3

Sama halnya sama tragedi.
Kalau terjadinya berulang kali, ya sah-sah aja, nggak papa nggak papa aja. Tapi penafsirannya juga beda. Seseorang juga jelas akan lebih ngerti, "Oh maksud Tuhan itu gini ternyata ngasih gue tragedi begini." "Oh, ternyata setelah gue gini, gue jadi gini ya." "Eh, semenjak ada kejadian itu, gue jadi lebih ngerti lho musti gimana." "Eh rasanya lebih enak ya ternyata kalau gue melakukan ini." and stuffs.

Yeaaaah, i think that's why we're all changing  grown up.

Jangan takut sama tragedi, mereka membantu kita untuk jadi lebih baik. (Karena kita semua tahu, Tuhan kasih hal itu ada tujuannya, ada hikmahnya)
Jangan lupa bersyukur, baik dan buruknya hal yang kamu terima, itu membantu kita untuk jadi lebih bijaksana.
Jangan lupa lihat sesuatu dari berbagai perspeksi, biar semua terasanya lebih punya makna, dan nggak sia-sia begitu saja.

Selamat memaknai tragedi,

karena hidup nggak cuma soal menyenangkan hati.






Regards,


the one who loves her tragedy and turn it out to beauty in life and behavior
and (i wish) so are you.{}

Wednesday 8 November 2017

Resahlah, Pikiranmu Liar!

HOLA HALO OLAH LAHO?

Masih sehat?
Masih baik-baik saja?
Masih bahagia?
Atau sama kayak saya? Masih resah?

Kalau kamu bahagia, selamat. Lanjutkan.

Kalau kamu resah, marilah kemari. Saya pun juga resah.

Pernah tidak, kamu termenung, sendiri, cuma memandang langit-langit kamar, lalu akhirnya.. kamu menyingkup.

Entah.
Udah semacam putri malu aja...................
....tapi pas dipegang, jadi ya gitu deh.... cupu.

Dan disini, saya, sedang sering.

Saya, sedang rutin.

Rutin apa?

Rutin resah.

Alasannya?

Yahh. Mudah saja, saya mungkin yang kurang mendekat ke pencipta, kurang membaca pedoman hidup yang tertera secara gratis dan dapat diakses dengan mudahnya, kurangnya membuka mata pada dunia dan kenyataan, dan kurangnya keberanian untuk menghadapi kenyataan yang terjadi di dalam hidup.

____

Suatu hari, sekitar 8 bulan yang lalu, saat dirawat di rumah sakit, saya kedatangan sebuah malam dimana malam itu merupakan malam berharga buat saya. Saya bener-bener kayak kena setruman listrik, kena petir. Pikiran saya diombang-ambing entah sama siapa, mungkin diberi Tuhan kelancaran dalam ketersesatan berpikir saya kala itu.

Singkat saja (percayalah kalimat ini bohong, karena ini nggak sesingkat kelihatannya),

awalnya saya, kalau opname atau kalau mau tidur harus pegang boneka dinosaurus kesayangan saya yang namanya Tiranosaurus, panggilannya Tirano. Lumayan lucu dia, saya sayang sama dia. Oke, dari situlah saya akhirnya pantengin Tirano, dan saya mikir aja... kalau saya hidup di jaman purba, jadi sekecil apa ya saya? Orang saya aja yang sekarang hidup di era 2017 masih kecil, kok malah saya bandingkan diri saya sendiri kalau hidup di jaman purba. Pasti saya akan kecil,.......... sekali.

Dari situlah, saya tiba-tiba berpikir soal reinkarnasi.
Ada tidak ya reinkarnasi itu? Tapi, kalau memang ada, berarti kita semua adalah reinkarnasi dari sesuatu yang hidup beberapa tahun yang lalu, bukan begitu? Ah. Saya buyarkan itu.

Tapi, semua itu makin berlanjut ke pikiran tentang kematian. Kalau memang reinkarnasi ada, artinya saya mati.. lalu akan hidup lagi suatu hari nanti. Tapi, apakah akan begitu? Saya rasa juga tidak.

Saya kemudian meremas selimut saya sampai bisa terlipat seperti origami, saya dilanda pikiran gila lagi. Saya berpikir buat apa saya hidup kalau pada akhirnya saya juga akan mati? Sia-sia dong? Buang buang waktu dong?
Lalu,
Saya berpikir soal sebelum dan sesudah mati.

Kalau sebelum mati, saya belum bisa jadi orang baik,
lalu saat sesudah mati, saya ini apa?
Yang bisa saya tanggung jawabkan apa, agar saya bisa menikmati 'sesudah mati' saya?

Kemudian saya takut, kalau saya salah arah.
Saya takut kalau yang saya pegang sejauh ini ternyata salah kaprah.
Saya ragu paham yang saya anut ini paham yang tak bakal kelam.
Saya takut tenggelam.

Makin meliar,
Saya menangis.

Sontak saya teriak-teriak, panggil puluhan kali Ibu dan Bapak saya.

Oke, mereka panik =))

"Kamu kenapa?"
"Aku ini udah bener belum sih jadi orang! Aku ini siapa sih! Aku ini buat apa sih hidup!!! Aku sekarang di jalan yang bener apa enggak sih!!!!" Saya marah-marah, saya nggak terkontrol, saya termakan dan termaki sama pikiran saya, dan.... selimut saya sudah tidak karuan, air mata saya jatuh kemana-mana, basahlah sudah kasur itu.

________


Ya, itu awal mula saya dilanda keresahan ini.

Saya cuma coba ambil hikmahnya, setelah dilanda hal begitu, saya mendekat...... ke Tuhan saya. Saya baca, dan pahami sedikit demi sedikit kitab saya. Saya kemudian tenang, dan sangat bisa mengambil hikmah dari kejadian 8 bulan lalu itu, bahwa sebenarnya, maksud Tuhan saya ini baik. Beliau beri saya kekuatan untuk mau mendekat, mau mengenal, bahkan punya kemauan untuk memahami apa yang selama ini saya ragukan.

Tapi,

Ternyata keresahan itu nggak berakhir disitu.

Suatu ketika, saya cuma ngobrol-ngobrol biasa dengan teman saya. Entah kenapa, topik saya jadi terarah ke keresahan saya. Saya ngobrol tentang naga, dan membayangkan naga itu ada di angkasa yang saya pandang kala itu. Gila kan? Sangat gila pasti.

Saya akhirnya ngobrol soal naga dulu ada tidak ya, kalau iya darimana datangnya manusia? Atau naga cuma sebatas dongeng belaka? Lantas, dinosaurus pun begitu? Cuma dongeng belaka yang dimuat dalam kartun dan tancapan animasi di otak tiap insan? Akhirnya, saya ingat lagi sama Tirano kesayangan. Bodohnya, hanya berpikir soal naga saja saya pun takut, karena ingat lagi soal reinkarnasi, dan saya bahkan tanya ke Guru saya, "Bu? Dulu ada naga tidak ya? Berarti kita ini adalah bentuk reinkarnasi dari naga-naga itu ya?"

Iya, oke.
Saya tahu, saya bego.

______

Suatu ketika lagi, saya dilanda resah lagi, hanya karena bicara dengan teman soal awan yang ada diatas kami. Kami cuma iseng bercakap-cakap, "Kita ini siapa ya kalau dibandingkan sama yang diatas sana? Hahahaha.."
Kalimat sederhana, yang bikin pikiran saya malah serasa dilanda bencana.
Lalu akhirnya saya bercerita tentang keresahan saya, dan percakapan berlangsung lebih mengerikan dari dugaan saya.

"Coba kamu lihat peta dunia, atau gambar galaksi bimasakti."
"Hm?"
"Bayangkan, kamu ini segini, lalu dilihat dari atas, kamu sekecil apa, dan coba lihat... bumi ini sekecil apa di urutan planet di Galaksi Bimasakti? Kita ini nggak ada apa-apanya, kita cuma pasir, kita cuma debu. Bayangin, gimana kalau nanti kiamat, kita bakal jadi apa? Laron beterbangan!"
"..."

GILA SUDAH SAYA.

Makin hari ke hari, saya tetap saja dilanda keresahan. Terus, teruuuus, dan susah untuk saya kontrol.

Bahkan, karena keresahan ini, saya sampai diberi instruksi buat periksa, karena ini itu penyakit. Jangan ke dokter, ke pskiater saja.

Saya nggak bisa menerima saran itu.
Saya nggak bisa semudah itu menganggap resah dalam diri adalah sebuah penyakit yang menyerang.
Baiklah, memang itu sebuah hal yang tidak bagus untuk kita konsumsi tiap hari, tetapi..... kalau saya boleh jujur tentang maksud ini semua, saya akan jujur.
Jadi,


gejala-gejala ini datang tiap hari. Tiap hari, tiap jam, tiap menit, tiap detik, pokoknya tiap waktu, kamu akan melihat segala gejala yang disampaikan semesta pada kita. Saya merasa, semesta ini selalu menyampaikan kepada kita apapun, dari manapun, bahkan dari sebuah pohon atau sekedar udara yang tak nampak. Saya merasa, semesta bicara tiap hari, menyampaikan pesan tiap hari kepada makhluk hidupnya, kepada alamnya. Tuhan menyampaikan pesan melalui semesta, dan jujur.. pesan itu sungguh berarti.


Kalau kamu juga seresah saya, 
selamat.

Kamu beruntung.

Ayolah kita ambil positifnya.

Gejala keresahan yang kamu terima tiap hari, itu punya pesan. Jangan kamu hilangkan pikiran liar kamu, jangan kamu hilangkan keresahan kamu.
Karena, resah membuatmu bisa menafsirkan, kenapa kamu hidup.
Resah membuatmu bisa sadar, bahwa memang kamu tidak bisa hidup selamanya.
Coba pikir, dari sekedar resah, kamu sadar bahwa hidup memang cuma sekedar mampir minum, dan dari situ kamu pasti bisa lebih sadar... bahwa, jangan buang-buang waktumu.
Jangan lupa membuat hal menjadi lebih berarti & berharga, dan tidak menyia-nyiakan hal.
Dari resah, kamu jadi sungkan sama dunia, sama semesta, sama makhluk di dalamnya.........
......

Sekarang, mari kita benar-benar merenung.

Untuk apa sih, kita semua hidup kalau akhirnya nanti juga mati?
Untuk apa sih, ada baik/jahat kalau pada akhirnya nanti semua juga mencicipi neraka?
Untuk apa eksistensi?

Mungkin pernah terlintas di pikiranmu seperti itu, yang mudah sekali kamu hempaskan, kamu buang jauh-jauh sesukamu.
Mungkin pernah terlintas di hatimu kesadaran mati itu datang tiba-tiba, dan mati itu awal dari semuanya, tapi tidak kamu pedulikan, dan kamu memilih untuk acuh tak acuh terhadap hal ini dan memilih "Ah, sekarang ya sekarang, lets just live in the moment."

Guys, no.

Its a gift.

Resah adalah ha...di...ah.
Resah adalah berkah!

Kalau kamu resah, artinya pikiranmu bisa cukup liar untuk menelaah maksud semesta.
Kalau kamu resah, artinya kamu diberi berkah untuk sadar bahwa hidup tidak sesederhana yang kamu pikirkan.

Kamu pikir kamu apa,

Lahir, hidup, menikmati masa muda, bekerja, menikah, bekerja lagi, menjadi tua, dan mati?

Iya. Dulunya saya juga berpikir begitu, sesederhana itu.

Tetapi, semesta bilang, saya salah kaprah mengartikannya.

Entah.
Saya tetap resah.

_____


Mungkin, post saya kali ini rada freak.
Tapi, memang.
Post ini freak karena yang menulisnya pun sama freaknya.

Tolong kamu maklumi cerita pikiran resah saya, yang sebenarnya ingin saya sarankan kepada kamu semua bahwa jangan pernah buang pikiran resah yang kamu dapat.

Itu..
Pesan.

Resahlah.

Berlututlah.

Bersujudlah.








....
.
....
..
..
....
...
..



Jangan ke pskiater.

Monday 1 May 2017

Thoughts #2 : Kita Semua Kena Label, Ya?

"These labels that will forever blind us from seeing a person for they are. But instead seeing them through the judgemental, prejudicial, artifical filters of who we THINK they are." - Prince Ea, I Am NOT BLACK, You Are NOT WHITE. 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ciao, teman-teman!
Dari kata-kata diatas, jelas lo udah tahu kan disini gue mau ngomongin apa?
Yep.
1 words, content with 5 alphabets : L-A-B-E-L.

Kenapa?

Simple.

Selain karena gue yang kena labelling, tapi ternyata gue sadar sebenernya kita semua tuh kena labelling :3

-

Di SMA ini, gue ambil jurusan IPS, which means gue punya mata pelajaran Sosiologi.
Dan gue udah belajar mengenai materi 'teori penyimpangan sosial', yang ada 'teori labelling' di dalamnya. Teori Labelling itu teori penyimpangan sosial yang penyebabnya adalah karena pelakunya melakukan 'labelisasi' kepada korban.

Contoh kasus paling simple yang terjadi saat ini :
Anak IPA vs Anak IPS.
Selalu saja mayoritas orang menganggap remeh anak IPS. Alasannya simple, karena anak IPS itu nakal, suka ngebantah aturan, seragamnya gak rapih, tasnya enteng, bukunya suka ketinggalan, and stuff.
Sedangkan anak IPA selalu dipandang rajin banget, soalnya apa-apa rapih, mereka rajin, patuh aturan, buku di dalam tasnya lengkap, and stuff.
BRO, buat yang IPS, kita senasib.
Dan BRO, buat yang IPA, no offense ya, I'M TELLING THE TRUTH HAPPENS IN OUR SOCIETY.
Ya gitu, itulah namanya Labelling.

-

Dan selanjutnya gue mau cerita sedikit nih soal kasus gue kenapa gue bisa memanggil diri gue sebagai 'korban labelling', sampe-sampe gue curhat di bio instagram gue kalau gue di label sebagai sampah, wuekekek. :3
Tapi singkat aja dan nggak mendetail ya.
Jadi.. suatu hari tuh, gue melakukan kesalahan, yaitu bicara kotor dengan lantang karena emosi. Huehee, bodohnya, hal ini ketahuan sama senior. Akhirnya, gue disidang karena hal itu.
Seusai kejadian yang... kalau gue boleh jujur, bikin mental gue down itu, gue kalo di kelas diem mulu, enggak pernah aneh-aneh. Hampir seminggu gue diem di kelas dan nggak pernah aktif di kelas. Nih ya, gue orangnya kan bawel, jadi suka nimbrung apapun pokoknya, tapi setelah kejadian itu, mental gue jatuh.
Tapi, selama seminggu, gue sadar emang gue salah karena udah ngelakuin hal itu. Tapi, selama seminggu juga, gue nggak bisa berhenti mikir, kenapa gue yang di label sebagai sampah dari sekian banyak sampah yang baunya disemprot sama parfum? Hm.
Yang ngomong kotor satu sekolah juga nggak gue doang, dari beratus atau bahkan seribu siswa, yang ngomong kotor juga 90%, tapi gue yang dianggap paling sampah. Lucunya disitu! :3

Gue direndahin saat itu.
Ibarat film 'Dear Nathan' nih, gue pemainnya.......................tapi sebagai Nathan, yang dilihat sebagai sampah sama orang-orang :v
Gue dianggep nggak bisa apa-apa saat itu.
Gue dianggep orang yang paling hina sama orang-orang yang 'belum kenal gue' dan 'langsung menilai' gue karena kasus itu.
Gue jatuh, asli. Jatuh dan susah buat bangkit. Gue keluar dari sebuah program, gue nggak ada mood buat belajar, gue bener-bener males banget buat ketemu orang-orang yang melihat gue serendah itu, mencibir gue sekejam itu, dan melihat gue sebagai...... sampah, bukan manusia.
Ciailah, Nathan banget gua. Hiks.
Tapi..
Suatu ketika, gue diberi pencerahan sama orang tua gue yang memaklumi kejadian itu.
Intinya, "Kalo lo jatuh, lo bangkit. Buktiin kalo omongan mereka tentang lo salah. Kalo lo diem dan gak bergerak, artinya apa yang mereka nilai tentang lo itu bener. Bangkit, tunjukkin kalo mereka salah."
Akhirnya, gue bangkit, makin semangat ngejar apa yang gue rasa gue bisa, makin semangat buat ngelakuin hal tanpa mikir omongan orang lain yang mau menjatuhkan gue, makin semangat buat ngebuktiin kalo gue bukan sampah.

-

Ternyata nih cuy, tetep aja.

Apapun yang gue lakuin, bener dan salah, gue tetep dinilai sampah. Gue belajar, dibilang sok rajin dan cari muka. Gue dapet nilai bagus, dikira nyontek. Pelan-pelan berhenti ngomong kotor, gue dibilang berubah. Jadi pendiem, gue dibilang nggak bisa jadi diri sendiri. Murah senyum dan ramah, gue dibilang sok cantik dan genit. Temenan sama cewek, gue dibilang ngejauhin temen-temen cowok gue. (fyi, gue gak rasis sama gender. as long as they could be a true friends who stabs me in the front, then they'll be). Dan yang terakhir nih, ngakak gue. Gue temenan sama cowok, gue dibilang gak bisa jaga diri.

HAHAHA, ya gue ketawa dong? Ternyata, bukan gue yang serendah itu, tapi orang-orang yang ngerendahin gue lah yang sebenernya rendah. Kenapa? Lah mereka aja enggak bisa ngelihat hal bener dan salah. Karena kesalahan gue yang dulu aja, gue nggak bisa dilihat baik ke depannya. Terus gimana? Gue disuruh jadi Maha Benar? Ya gila lah, Nabi Adam aja tetep makan buah khuldi walau udah diingetin jangan. Heran aja sih, Allah aja bisa maafin kesalahin umatnya, kenapa umatnya susah banget buat maafin saudaranya. :(

Bener sih, karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Tapi, masih mending gue sebagai susu kena nila, warnanya pudar tapi nggak berbalik. Daripada kena tinta? Rusak lah gua sebagai susu!
Akhirnya gue sadar, ternyata tetep aja, apapun yang gue lakuin mau baik mau buruk, gue tetep aja buruk di mata mereka karena label yang diciptakan dari satu kesalahan gue.

Oke deh. Sans aja.
Orang-orang yang tahu gue juga bakal ngerti kok kalo semua manusia juga bikin salah, dan sebagai manusia yang baik adalah memaklumi kesalahan. Mau sehina apa mereka berkata tentang gue, yang tahu faktanya juga gue sendiri. Percuma buang-buang waktu buat bikin mereka percaya, cause people will always believe in themself. Kalau themself nya udah bilang gue buruk, yaudah.. yourself gue aja deh yang bilang gue baik. HEHEHE.

-

Berkaca dari kejadian gue sebagai korban labelling karena 'gue ngomong kotor', gue akhirnya bisa ngasih saran ke temen-temen gue yang lagi kena masalah serupa, yaitu direndahkan.
Tapi ternyata, beberapa temen gue kasusnya juga lucu. Mereka nggak cuma direndahkan, tapi di label juga.
Ceritanya macem-macem.
Ada yang dianggep cewek nggak baik karena intonasi ngomongnya.
Ada yang dianggep cewek murahan karena temenannya sama cowok :')
Ada yang dianggep bego karena nggak bisa jawab 1 soal di kelas.
Ada yang dianggep anak gak diurus karena dibolehin pulang malem sama Ibunya.
Ada yang dianggep gak cantik karena kulitnya hitam.
Ada yang dianggep miskin karena makannya di pinggir jalan.

DAN MASIH BANYAK LAGI HAL KONYOL LAIN YANG DILAKUKAN OLEH SOCIETY.
Heran gue sama Society Nowadays yang mengutamakan label. Nih, suka suka lo deh mau kasih nilai diri kita gimana. Tapi, masalahnya lo nggak cuma buat nilai. Tapi lo juga ngebikin label. Dan big problemsnya, label yang lo buat ini terlalu semena-mena. Lo bahkan langsung menjudge orang pada pandangan pertama. Ya kali masih mending cinta pada pandangan pertama, ini judge pada pandangan pertama. Beda kasus cuy.

-

Okay then.
LET'S GET ONE THING STRAIGHT. LET ME TELL YOU US.

Kita lahir.
Kita damai.
Tahu kenapa? Karena, tidak ada satupun bayi yang melihat bayi lain sebagai 'hitam', 'sampah', 'cewek murahan', 'kampungan'.
Bayi melihat bayi lain, sama. Sama-sama punya mata, hidung, mulut, telinga, dan hati. Sayangnya, makin gede, makin kita tahu ternyata kita ini dipasangi label.
Siapa yang memasang label? Kita sendiri!
Coba lo lihat diri lo sendiri. Sudahkah lo berhenti memasang label pada seseorang?
Gue yakin, tiap lo ketemu sama seseorang baru, lo akan lihat minus dari orang itu dan langsung melabel orang itu. Contoh.. lo ketemu sama orang yang pake sepatu KW, dan lo langsung memberi label, 'Orang miskin. Beli sepatu ori aja gak bisa.' Hehe.

-

Yuk gue kasih analogi sederhana lagi, yang entah nyambung atau enggak. Wkwk :v
Judulnya, Genre Musik.
Ada 8 orang nih dalam suatu tempat. 7 orang berdiri tegak pada genre mereka masing-masing. Orang pertama suka dengerin Nirvana, sama Pearl Jam. Orang kedua suka dengerin musik adem dari band lokal Indie semacam Payung Teduh. Orang ketiga suka banget tenang kalo udah denger simfoni nya Beethoven, Mozart, JS Bach. Keempat, suka banget sama saxophonenya Dave Koz, dan rajin banget dengerin musik Jazz. Kelima, dia suka banget sama Bring Me The Horizon, atau mungkin Suicide Silence yang tetep abadi di hatinya. Orang keenam, demen banget joget kalo lagu Yellow Claw, Jack U udah muter. Orang ketujuh, hobinya nonton konser New Palapa, dan lagi pake kaos gambar Ayu Ting-Ting. Mereka gak lama tengkar, memperebutkan genre terbaik.
Kemudian datanglah orang ke 8, lagi pake kaos Nirvana, terus tatonya sebanyak Young Lex Eminem, lagi ngebawa bukunya Fiersa Besari sama sebuah saxophone beserta partitur musik, pake snapback Yellow Claw, headphonenya terpasang rapih di telinga. Dan pas dia ngeluarin handphone, casenya bergambar logo BMTH, tapi waktu dibalik, lagu yang dia puter, 'Resah - Payung Teduh'.
Dia melepas headphonenya, bilang.. "Ini ngapain sih pada ribut?"
"Genre terbaik pokoknya Grunge!"
"Gila lo! Dangdut lah!"
"Ah, apaan sih cupu banget, ya Klasik lah."
"Jazz as always lah, apaan klasik bikin ngantuk."
"Itu tuh, folk yang cupu!"
"Ya mas Alex sang juara lah!"
"Genre tuh yang bikin semangat gitu lah, Metalcore gitu, lho."
Dan si dia cuman bilang, "Tujuan kalian memperebutkan genre biar apa?"
"..."
"Why so segmented? Musisi datang untuk musik."
"..."
"Kalian nggak suka, ya just leave it. Jangan nilai apa yang lo nggak suka itu buruk. Lo nggak bisa seenaknya menghakimi suatu genre."
"..."
"Jadi? Kalian disini untuk?"
"Musik."
..
Oke ceritanya selesai.
Nggg gimana yah.

Mereka mendengar, tujuannya untuk satu : Musik.
Kita hidup, tujuannya untuk satu : Damai.
Terus, gimana bisa lahir perdamaian kalau konflik selalu timbul hanya karena 'label' yang kita buat sendiri?
Nggak bisa seseorang menilai Jazz itu buruk, kalau yang mereka dengerin tiap hari itu Deathcore Electronica.

-

Buat kita yang masih sering ngasih label, semangat.
Nggak bisa seseorang menilai orang lain itu salah, kalau yang mereka lakuin tiap hari juga masih belum bener.
Maka, mustahillah kita melabel sesuatu kalau kita belum tahu 'apa yang kita label' itu.
We know nothing but only our own opinion, yang suaaangat amat subjektif tanpa ada keinginan untuk melihat terlebih dahulu.
Kita ini sebenernya manusia yang sangat terburu-buru dalam menilai suatu hal, tanpa ada keinginan untuk perlahan mengenal sesuatu secara mendalam sampai benar-benar paham.
Kita ini sebenernya cuma manusia yang takut dilebihi sama manusia lain, makanya kita sibuk banget buat masang label kepada manusia lain, label yang buruk, label yang rendah, label yang bikin kita percaya kita ini lebih hebat dari mereka.
Kita ini sebenernya manusia hina yang suka banget ngehina orang lain.

-

Dan buat lo kita yang terkena label, semangat.
Gue yakin label yang dikasih ke kita itu cuman penilaian subjektif semata. Gue yakin kita bisa ngehilangin 'label' jelek yang dikasih ke kita jadi 'label' yang baik.....oh, atau tanpa label. Kelihatannya lebih indah.
Gue yakin label yang dikasih ke kita itu nggak bakal bertahan lama ketika kita ada keinginan buat ngehilangen label itu tadi.

-

LETS REMIND US ABOUT THIS.

Kalau nggak ada label, kita semua jadi satu loh.
Nggak ada kata rasis.
Nggak ada miskin dan kaya, hitam dan putih, dekil dan bersih, cantik dan jelek.
Kita semua bakal jadi satu, jadi manusia, yang siap menciptakan damai.
Tanpa label, kita bisa ngehilangin konflik dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tanpa label, kita bisa nggak seegois itu dalam menilai seseorang.
Tanpa label, kita bisa jadi satu!
Kita bisa jadi diri kita sendiri, tanpa ada batasan kita takut dinilai jelek lah, miskin lah, hitam lah. Bakal nggak ada kata takut direndahkan, atau takut dilihat sebagai sampah.
Kita bakal bisa lihat sesama manusia sebagai 'manusia', nggak ada yang lebih rendah, atau lebih buruk. Nggak ada yang lebih tinggi, atau lebih baik. Nggak ada yang lebih sempurna, karena kita sejatinya cuma manusia, yang jauh dari kata sempurna.

-

Ayo, kita hilangkan label dari diri kita, dan kita hilangkan pemikiran untuk menciptakan label.
Semoga dunia ini bisa tenang tanpa label! ;)
Amin!

Sunday 30 April 2017

Pelangi di Mendung ; Jadi Dunia. Untuk Dunia.

"At least, be the rainbow in someone's cloud."
-------------------------------------------------------------------------------------

Halo, kawan!
Setelah sebulan gue nggak mengunjungi blog ini, gue menyesal. Hehe.
Padahal, dalam sejarah hidup gue, setiap tahunnya tuh, bulan yang paling lama terlewati adalah Maret ke April, dan April ke Mei. Kenapa? Karena terlalu banyak peristiwa, memori yang terjadi disana. Gimana ya? Ah, pokoknya.. Maret dan April adalah dua hal yang keren dalam hidup gue. Selalu saja mereka terasa lebih lama dari bulan-bulan lainnya, dan kejadian di dalam bulan itu, selalu mengejutkan tiap tahunnya. Gue menghitungnya dari tahun 2012. Artinya, udah 5 tahun an gue ngerasain secara sadar betapa menakjubkannya Maret dan April dalam hidup gue. Hehehe.
Eh, lah.
Disini gue nggak bakal ngomongin Maret dan April dalam hidup gue ataupun sebaliknya, hal itu terlalu sukar untuk diobrak-abrik rasanya.
-
Jadi, gue bakal menceritakan salah satu hal keren yang terjadi di April gue di 2017 ini.
Judulnya, anggap saja 'Pelangi di Mendung'.
Hari kejadiannya, 23 April 2017.
Waktu kejadiannya, pukul 9 pagi.
Tempat kejadiannya, di daerah yang dipandang sebelah mata di kota gue Mojokerto, yaitu Balongcangkring.
Pelaku kejadiannya, Pelangi dan Mendung. Oh! Sama sinar matahari yang ikut campur tapi nggak mengganggu dan malah membantu.
-
Udah dari kelas 7 gue tahu kalau daerah bernama 'Balongcangkring' atau yang kerap disingkat 'BC' ini disebut-sebut sebagai tempat yang 'nggak pantas' atau 'nggak baik' gitu deh pokoknya.
Alasan utama penduduk ngomong begini adalah, daerah ini seringkali jadi tempat prostitusi, seperti halnya dolly di Surabaya.
Tapi, namanya hal baik selalu ada buruknya, begitupun sebaliknya.. mungkin?
-
22 April.
Iya.
Hari Bumi.
Dan gue diajak untuk memperingati hari tersebut bersama guru bahasa Inggris gue tercinta yang pemikirannya sangat brilian sekali, Bu Lies. Gak cuma gue yang diajak, tapi beberapa teman, dan kakak kelas gue juga yang mau-masih-mampu peduli.
"Kita ngapain di Hari Bumi ini?"
"Di kawasan itu, anak kecilnya kayaknya perlu dikasih edukasi lebih, deh. Kita ajarin mereka, dan karena ini dalam rangka memeringati Hari Bumi, kita harus ajarkan hal yang berkaitan dengan bumi. Nggak jauh-jauh deh, sampah bisa."
"Menarik. Tapi kawasan itu kan katanya bahaya."
"Nggak ada salahnya kita mencoba. Kalau buruk dibiarkan dan tidak dipedulikan, selamanya itu akan jadi buruk. Tapi kalau yang baik mau ikut campur sedikit ke yang buruk, niscaya buruknya perlahan juga mau jadi baik."
Dan akhirnya setelah kita pikir-pikir lagi, kalau kita mau suatu perubahan, kita harus berani bergerak. Jadi...
Berangkatlah kita.
-
Gue rela bangun pagi-pagi hari itu, lalu menjemput temen gue (yang sebenarnya dia kakak kelas gue) yang pemikirannya ada chemistry banget sama gue, hehehe. Namanya Sarah, dia hebat banget.
Kita ngobrol sans aja waktu perjalanan ke tempat, sambil berangan-angan nanti gimana ya jadinya, sukses nggak sih acaranya, garing nggak ya?
Pokoknya gitu deh.
Udah jadi mimpi kita berdua buat bisa terjun ke anak-anak kecil yang perlu banget dikasih edukasi.
Udah lama kita pengen jadi guru ke anak-anak yang perlu diajarin sesuatu.
Makanya kita semangat banget buat ikut acara ini, karena itu tadi.
Siapa sih, yang nggak pengen jadi inspirasi buat seseorang?
Hehe. Semua pengen jadi inspirasi, toh.
-
"Masuk gang ini deh kayaknya."
Gue dan Sarah pun masuk ke sebuah gang yang dirasa hina sama orang-orang sekitar. Ada orang bertato yang ngelihatin kita, tapi kita senyumin aja. Toh, gak semua orang bertato itu berjiwa pembunuh. I don't do that dumb thing ; judging people by their cover.
Gue menuju ke lokasi, dan.... sepi -_-
Ahhhh sepiii cuy.
Gue kira gue udah terlambat, gue udah buru-buru dan ternyataaaa... sepi.
Bahkan, gue nggak lihat seorang anak kecil pun disana.
"Kayaknya bakal sepi deh." kata kita, pesimis.
Akhirnya, kita duduk di kursi di depan rumah di daerah situ. Gue dan Sarah ngelakuin hal yang jadi rutinitas semua orang banget, yaitu..... tidak lain dan tidak bukan, update story di instagram. Cuy! Fun fact, we all do that thing huehehe :v *no offense*
Biar seru, gue sengaja nambahin location di story gue.
Lalu, responnya. Minus.
"Lah ngapain kesitu Nad?"
"Ih jorok banget lu."
"Yah, porno."
"Nganggur bgt."
"Deket rumah gue!"
"Eh?"
And stuff.
Terus gue ngakak aja, abis gue sendiri juga heran ngapain yak gue kesini gitu. Apa kata orang-orang lihat story gue updatenya ke BC :3
Tapi......
...
YAKALIK PROSTITUSI PAGI-PAGI? Gila!
-
Pas gue sama Sarah ngobrol dengan topik 'ngajarin anak kecil', kita ngobrolin juga soal film 'Stip & Pensil' (fyi yang belum nonton, buruan deh, lucu tapi tersirat makna mahadalamnya), ada 3 anak kecil lagi naik sepeda kayuh mereka masing-masing. Yang satu ngedeketin kita. Dan,
"Halo, Kak!"
Kemudian gue dan Sarah nengok, sambil kagok.
Gila!
Gue kira mereka nggak bakal ramah gitu, dan bakal nggak ngehargain kita. Ternyata, pemikiran gue rendah banget, gue sebodoh itu mikir mereka super nggak tahu etika, ternyata... mereka tahu etika banget men.
Itu first impression sih, soalnya... ini Mojokerto cuy. Fyi, kita biasa manggil 'Mas' atau 'Mbak'. Tapi, dia... 'Kak'. Big applause sih ini :v
Terus kita yang kayak, "Eh, iya! Halo, dek!"
"Udah lama kak ndak les. Ketiduran terus!"
Buset cuy -_- Dia masih kecil, dan tahu gimana cara membuat kesan pertama dalam sebuah dialog. Mampus lu para pencari cinta yang sedang pdkt ke cewenya sambil malu-malu, dikalahin sama anak SD tuh.
-
Gak lama, Bu Lies datang bersama rombongan. Membawa pohon, yang siap ditanam disitu. Temen-temen gue pun juga datang.
Tempat acaranya berlokasi di SD Mentikan 6, dan kita pun bersih-bersih dulu sebelum acara dimulai.
Seraya kita membersihkan lokasi, beberapa anak kecil datang meramaikan lokasi. Gue rasa, itu mereka yang siap mengikuti acara ini.
-
Acaranya mulai.
Berlangsung........ garing awalnya.
Mereka datang pakai baju bebas, tasnya juga seadanya. Rambutnya merah, keseringan kena sinar matahari. Kulitnya hampir cokelat tua, keseringan keluar rumah.... kerja. Bajunya beberapa lusuh, keseringan hidup di lingkungan kotor. Tapi, semangatnya cerah, hampir ngalahin terik matahari saat itu.
-
Acaranya mulai seru waktu kita nanam pohon di tempat itu.
Ada 3 anak yang super semangat banget. 1 namanya Puguh, rambutnya naik semua, udah kayak vokalis band punk. 1 namanya Rindy, cantik dan lembut banget. 1 lagi namanya Renvil, yang berhasil nyuri hati gue dari awal karena dia yang nyapa gue dan Sarah tadi sebelum acara mulai.
Saat pohon ditanam, Rindy dan Puguh semangat banget buat garuk-garuk tanahnya, sedang Renvil semangat banget buat cari air biar pohonnya bisa disiram untuk pertama kalinya (fyi, tempat dia ngambil air ternyata cukup jauh).
Selanjutnya, keseruan meningkat saat kita bagiin alat tulis buat mereka.
Gue bisa lihat, mereka excited banget buat dapat alat tulis. Sementara gue, alat tulis aja sering banget hilang di kelas entah kemana. Ah, kecil tapi menyentuh ya.

-

Kita kemudian ngajak mereka untuk berpendapat tentang pengalaman barusan yaitu menanam pohon menurut mereka. Yang berani maju ke depan bakal dapat hadiah.
Mereka semangat banget setelah lihat hadiah yang bakal kita kasih kalau mereka berani maju ke depan. Ada kotak pensil, buku gambar, pensil warna, notes. Dan mata mereka berbintang-bintang memandangi hadiah itu sambil sibuk mengangkat tangan biar ditunjuk dan segera dapet hadiah. Dari sini gue sadar, kenapa orang-orang nggak mau baik ke orang lain, karena takut nggak dapet apa-apa. Padahal, kalau mereka tahu imbalannya, mereka pasti mau banget buat baik ke orang lain. Hehe.
-
Gue kemudian menyuruh mereka untuk menggambar sebuah pohon di kertas dengan alat tulis yang udah dibagi ke mereka.
Lucu.
"Pohon itu gimanaaa kaak?"
"Kaaaak aku nggak bisa gambaaar!"
"Kaaaak aku belum dapat bolpeeen!"
"Kaaak aku ndak bisa nulis!"
Akhirnya, gue gambarin sebuah pohon yang simple banget supaya mereka bisa ngikutin.
Dan mereka, excited banget. Padahal gambaran gue, yaaahh.. bisa banget lo samain sama gambaran anak TK.
Mereka tertarik banget setelah gue tunjukin gambar pohon itu tadi, dan akhirnya mau ngegambar pohon itu.
Ada yang bener-bener nggak niat banget buat ngegambar, tapi ada yang niat banget sampe-sampe dia tiduran demi dapat posisi yang enak buat ngegambar.
Bu Lies datang, "Jangan lupa mereka kamu kasih slogan tentang lingkungan. Terserah."
Dan akhirnya, setelah mereka selesai gambar, gue minta mereka menulis slogan yang spontan dibikin sama kita.
"Aku sayang bumi. Pohon itu sahabatku. Aku tidak mau sahabatku sedih. Aku berjanji akan menyiraminya." 
Slogan.....super..........ridiculous =))
Ada dari mereka yang nggak tertarik buat nulis itu karena mereka nggak tahu cara nulis, ada yang ngikutin slogan itu dengan cermat setiap gue selesai ngomong slogan itu, ada yang sibuk ngehafalin slogan itu.
Butuh waktu sekitar 10 menitan untuk menunggu mereka semua bisa nyelesain tulisan itu, karena mereka nggak datang dari kelas yang sepantaran. Ada yang udah kelas 1 SMP, 6 SD, ada pula yang masih kelas 2 SD dan bahkan TK 0 kecil.
Seusai itu, mereka gue minta untuk ngebaca slogan itu dengan lantang.
Ada yang ogah-ogahan, tapi ada yang semangaaaatt dan lantaaang banget ngucapinnya sesuai permintaan gue.
Gue nggak lupa bilang, "Adek-adek, ini jangan dibuang. Sampe rumah ditempel di kamar ya?"
Beberapa bilang iya, beberapa bilang sebaliknya.
"Oke, selanjutnya kita bakal nonton video animasi tentang sampah. Ayo, kita kesana."
Mereka pun semangat, karena kayaknya mereka udah bosen sama cakap-cakap gue. Tapi, kertas yang isinya slogan itu nggak mereka hiraukan. Ada yang dibuang begitu aja.
Ya gue kecewa dong ya. -_-
Tapi, gue kemudian melihat Renvil, dan dia ngelipat kertas itu, dimasukin ke tasnya sambil nengok ke gue dan bilang, "Ini nanti buat adek!"
HOLYCRAP! Renvil, you do it nice :')
-
Seusai mereka nonton video, mereka disuguhkan penampilan akustik.
Lagu pertama yang dibawakan, Jangan Menyerah - D'Masiv.
Dan guys, its happening.
Gue seolah sedang berada di suatu reality show mengenai kehidupan sekitar yang biasanya ada di tipi-tipi, but this is real =')))

Hampir nangis gue.
Tapi, ada yang paling bikin gue nangis.




Waktu mereka nyanyi..... Tanah Air.

-
Sepulang dari itu, gue bersyukur banget.... nget... nget.
Karena ternyata, dengan cara apapun, dan hal apapun, lo sebenernya bisa merubah dunia seseorang.
Gue belajar dari 3 anak yang gue pandang di acara itu, Puguh, Renvil dan Rindy. Mereka yang paling excited buat ngejawab pertanyaan, mereka yang paling punya semangat diantara yang lainnya, mereka yang paling punya mimpi untuk masa depan mereka.
Gue sadar saat lihat senyumannya Rindy, mimpinya besar, tapi dia berada di lingkungan yang kecil. Tapi, gue yakin Rindy bisa ngeraih mimpi besarnya itu. Dia bakal jadi besar. Senyumannya tulus banget, bahkan gue nggak tahan kalau liat dia senyum, abis senyumnya penuh arti, penuh makna, penuh perasaan.

Gue sadar saat lihat mata Renvil, dia punya hati yang baik dan tulus, tapi dia dikelilingi sama orang-orang yang mau ngasih pengaruh buruk buat dia. Tapi, gue yakin dia bisa nahan diri biar bisa baik, karena sebenernya, nggak ada orang yang nggak mau berubah di dunia ini. Gue yakin Renvil bisa merubah jalannya menuju mimpinya biar bisa lebih dekat.
Gue sadar saat lihat semangat Puguh, yang walau penampilannya dinilai jelek, tapi dia brilian. Dia nggak seperti penampilannya. Dia cemerlang, punya akal banyak, punya tekad besar buat sesuatu yang besar pula. Gue yakin Puguh bisa jadi pemimpin yang baik kelak, walau dia direndahkan karena penampilannya. Gue sangat yakin, Puguh bisa membuktikan kalau penampilan nggak menentukan gimana akhlak seseorang!

Gue nggak henti-hentinya bersyukur, walau cuma 3 jam, kita bisa kasih pelangi buat mereka yang ‘merasa mendung’.
Gue nggak peduli soal mereka yang nggak peduli soal gue juga. Gue peduli soal mereka yang bener-bener nganggep kehadiran kita berarti hari itu.
Karena sebenernya, kita bisa kok, menciptakan generasi yang baik kalau kita mau bergerak.
Kita ini calon penerus bangsa.
Oh, bukan.
Kita ini sudah jadi generasi penerus bangsa, yang nantinya bakal ngebawa negeri ini mau kemana. Kalau kita mau suatu perubahan, kita bisa. Dengan bergerak, kita bisa. Dengan melangkah walau hanya selangkah, kita bisa maju.
Dari hal kecil, kita bisa buat sesuatu itu jadi besar.
Dari hal yang besar, kita bisa memaknai suatu hal yang kecil.
Gue yakin, kita bisa jadi dunia dengan hanya hadir.... dan memperkenalkan dunia ke seseorang.
Gue yakin, kita bisa jadi dunia dengan hanya memberi tahu, bahwa dunia itu luas.
Gue yakin, kita bisa jadi dunia dengan hanya ikut campur ke suatu hal yang sesungguhnya berpengaruh buat dunia.
DAN GUE SANGAT YAKIN,

KITA BISA JADI DUNIA DENGAN HANYA MEMBUKA MATA BAHWA DUNIA INI DARI KITA, DAN UNTUK KITA.
Semangat!

Sunday 5 March 2017

Thoughts #1 About : "SARKASME"

Heyy!!!
I'm back!!!
I'm actually back!!
Yes!
Dengan semangat tinggi untuk lebih rajin, disiplin dan lebih peduli terhadap blog gue yang kian lama berdebu , yak, akhirnya gue hadir lagi di sini untuk memberi kalian para visitors sebuah post yang yah.. entah akan berfaedah atau enggak, itu mungkin urusan belakangan, yang penting gue kembali peduli lagi terhadap blog gue. HAHAHA, nggadeng.
..
....
.. Eh tapi iya.

--
--

Insyaallah, untuk selanjutnya, gue akan mengisi blog-blog gue dengan hal yang lebih bermanfaat!
Seperti beberapa pemikiran, argumen, opini yang berkaitan dengan kenyataan yang ada. Semua itu akan siap gue tuangkan disini dan dimulai dari post ini yang bersumber dari thoughts siang tadi.

--


SARKASME.
Hm, apa itu sarkasme?

--

Menurut Wikipedia dan sumber sejenisnya,

Sarkasme adalah sebuah teknik dalam berkomunikasi di mana ungkapan verbal disampaikan secara sinis, serta memaksimalkan ironi. 

Menurut gue,

Sarkasme itu cara orang ngomong atau bersikap ke orang lain, tetapi caranya nggak etis karena super kasar, super menyakitkan hati, super nggak sopan abis.

--

Sebenernya, yang "menurut gue" itu adalah intinya aja sih, tetapi bahasanya enggak baku aja. Tapi sama aja. Nggg, yahh.. pokoknya gitu deh.
Nah, di post kali ini, gue mungkin nggak akan membahas mendetail mengenai hal jelasnya tentang 'sarkasme'. 
Tetapi, yang akan gue bahas adalah, apa itu sarkasme menurut thoughts gue.
Jadi, yaaaah.. namanya suatu pemikiran, suatu opini, dan hanya satu sisi, yaitu dari sisi pemikiran gue, yang mungkin nggak akan sama dengan apa yang seperti kalian pikirkan. But, we talk and listen to understand, right? Or maybe reply it, as long as it make sense.
Sarkastik, sarkasme, sarkas, itu sering gue gunakan ketika orang itu bersikap kasar atau gimana ya.. arogan deh pokoknya. Makanya, disini kalau memang gue salah kaprah mengartikannya, ya mohon dimaklumi. Beberapa orang juga nggak jarang salah mengartikan suatu julukan, atau apapun. Wkekekekek.

--

Di suatu siang, gue sedang asyik duduk-duduk sambil nungguin pengunjung masuk ke event sekolah gue. Yap, gue disitu sedang menjadi panitia di event sekolah gue, lebih tepatnya gue disitu jaga bagian ticketing (tapi gue bertugas nyobekin tiket visitors doang :v).
Nah, kan setelah tiket gue sobek, visitor akan gue suruh untuk menuju bagian screening biar tasnya aman dari barang-barang yang emang pada ketentuannya gak boleh dibawa (seperti : makanan, rokok, dan sejenisnya)
NAAAH, pas ada sekitar 4 atau 5an visitor cewek pada saat itu, setelah gue sobek tiketnya, kan mereka gue tanya tuh, "Mbak, gak ada yang bawa makanan kan ya?" Dan nada yang gue lontarkan saat bertanya itu adalah menggunakan nada yang super halus dan non-sarkastik lah istilahnya.
Lalu salah seorang dari mereka menjawab, "ORANG KITA NGGAK BAWA TAS, KOK, MASA BISA BAWA MAKANAN?!!"
Seketika gue melotot, terus gue senyum doang. Dan gak lama kemudian akhirnya gue berpikiran, ini bagus juga yak, buat bahan blog gue. BAA DUM TSS.

--

Asli ya.
Gue tuh heran sama orang-orang sarkastik kaya begitu. Heran aja gitu. Why treat people you don't know like it was your enemy gitu lo. Gue serius gak tau dia siapa, punya masalah apa sama gue, kok sampe bisa se-sarkas itu menyikapi pertanyaan gue yang sifatnya........supernonsarkastik.
Yaa, entah itu dari latar belakang dia emang pergaulannya enggak kenal nada halus apa gimana, yang jelas, itu keterlaluan sih, pikiran gue menjalar kemana-mana dengan hanya sikap orang yang gitu. Heheeee, mungkin gue orangnya super lebay ya dengan melebih-lebihkan begitu? Tapi nggak tahu sih, setidaknya dari satu contoh sikap aja gue jadi bisa mikir tentang banyak sikap, dan realita yang terjadi :D Bhaakk.

Tapi serius lo, pikiran gue akhirnya makin lebar lebaar dan leeebaaarr. Sampe-sampe gue mikir, gimana persaudaraan antar sesama manusia bisa terjalin kalau orang-orangnya ini lama-lama makin jadi makhluk sosial tanpa sosial.
Kalau untuk menghargai orang aja mereka susah, untuk berpikir positif ke orang baru aja susah, gimana bisa mereka mengorangkan orang?
Kalau dipikir-pikir, emang sih personality setiap orang itu berbeda, latar belakang mereka berbeda, pemikiran mereka berbeda, jadinya mereka akan punya banyak cara untuk menyikapi orang lain, terutama orang baru...yang sekedar nanya mereka kira-kira bawa makanan nggak ke event sekolah yang melarang hal tsb.

Tetapi, bukankah seharusnya setiap orang itu bisa 'memanusiakan manusia'?

Memanusiakan manusia yang gue maksudkan disini adalah ketika lo, ingin di treat people sesuai yang lo mau, nah maka.. yang harus lo lakuin adalah..?
YAP.
Treat people the way you want to be treated.

Saking aja, beberapa orang masih belum ada mindset begitu.
Mereka suka seenaknya sendiri.
Mereka suka bossy.
Mereka mau dihargai, tapi nggak ada sekalipun keinginan untuk ngehargai orang lain! Is it fair? Yah, gue enggak perlu ngejawab.

Yuk kita menjalar ke hal-hal lainnya.
Beberapa orang tuh, menurut gue, masih aja membicarakan orang lain karena sikap orang tersebut nggak sesuai yang mereka pengen.
Awalnya, saat gue secara nggak sengaja mendengar pembicaraan 'membicarakan orang' itu, gue nyalahin si orang yang lagi dibicarain itu. Ya, gue kira, orang itu emang purely nggak nice gitu ke dia. Tapi pas gue telaah lagi, kepergok sikapnya dia ke orang lain, gue ketawa. Gue akhirnya bisa menyimpulkan, ini orang aja enggak sesuai dengan yang 'dia sendiri inginkan'. Kok ribet, mintanya gono gini?

Yah, itu sebenernya udah penyakitnya orang di sekitar kita sih emang. Kerjaannya kan ngomongin orang padahal sendirinya juga belum buuuener banget gitu.
Beberapa orang menganggapnya tabu, padahal sendirinya ngelakuin itu.
Beberapa orang menganggapnya oke oke aja, soalnya sendirinya ngelakuin itu.
Beberapa orang menganggapnya bikin risih, soalnya... EMANG BIKIN RISIH.

Gaes, buat lo yang sekarang lagi ngebaca ini, yuk deh, berubah yuk.
Dari hal sekecil apapun, lo bisa kok kurang-kurangin sarkas dalam diri lo. Sarkas yang mampu melahap habis-habis sesuatu yang sebenernya mampu dipandang baik oleh orang lain. Sarkas yang bikin lo dinilai 'jahat' sepenuhnya oleh orang lain. Sarkas yang bikin orang masang perspeksi antagonis pada diri lo. Sarkas yang mampu jadi bumerang buat diri lo sendiri.

Yuk kita pasang mindset memanusiakan manusia dengan bersikap tidak sarkas walau seasing apapun mereka.
Nggak ada yang salah kok ramah ke orang asing, nggak memungut ongkos kok ramah ke orang yang asing, beneran deh! Nggak rugi! Sangat enggak rugi!!
Jadi, kenapa lo harus takut untuk bersikap luar biasa baik ke orang baru? Kali aja, orang baru ini tadi akan bermanfaat buat lo di kemudian hari?
Kenapa lo harus malas untuk memanusiakan manusia? Karena sebenarnya tugas kita dalam hidup ini kan untuk menghargai sesama manusia? Tugas utama dalam hidup ini kan mendamaikan seisi dunia?
Yuk deh.
Berangkat dari sekarang.
Jadi pribadi yang meminimalisir sarkasme dalam diri sendiri. Yah, walau semua orang memang perspeksinya beda-beda, beberapa tak melihat sarkasme sebagai sarkasme, tapi.. apa nggak lebih baik menjadi baik kepada setiap perspeksi?

:D

See you in my next post!

trite

i alw ays won der are The Smiths re ally be honest , for the h e avenly fe e li n gs o f de ad by yo u r sid e. bec ause by on ly seeing ...