Monday 1 May 2017

Thoughts #2 : Kita Semua Kena Label, Ya?

"These labels that will forever blind us from seeing a person for they are. But instead seeing them through the judgemental, prejudicial, artifical filters of who we THINK they are." - Prince Ea, I Am NOT BLACK, You Are NOT WHITE. 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ciao, teman-teman!
Dari kata-kata diatas, jelas lo udah tahu kan disini gue mau ngomongin apa?
Yep.
1 words, content with 5 alphabets : L-A-B-E-L.

Kenapa?

Simple.

Selain karena gue yang kena labelling, tapi ternyata gue sadar sebenernya kita semua tuh kena labelling :3

-

Di SMA ini, gue ambil jurusan IPS, which means gue punya mata pelajaran Sosiologi.
Dan gue udah belajar mengenai materi 'teori penyimpangan sosial', yang ada 'teori labelling' di dalamnya. Teori Labelling itu teori penyimpangan sosial yang penyebabnya adalah karena pelakunya melakukan 'labelisasi' kepada korban.

Contoh kasus paling simple yang terjadi saat ini :
Anak IPA vs Anak IPS.
Selalu saja mayoritas orang menganggap remeh anak IPS. Alasannya simple, karena anak IPS itu nakal, suka ngebantah aturan, seragamnya gak rapih, tasnya enteng, bukunya suka ketinggalan, and stuff.
Sedangkan anak IPA selalu dipandang rajin banget, soalnya apa-apa rapih, mereka rajin, patuh aturan, buku di dalam tasnya lengkap, and stuff.
BRO, buat yang IPS, kita senasib.
Dan BRO, buat yang IPA, no offense ya, I'M TELLING THE TRUTH HAPPENS IN OUR SOCIETY.
Ya gitu, itulah namanya Labelling.

-

Dan selanjutnya gue mau cerita sedikit nih soal kasus gue kenapa gue bisa memanggil diri gue sebagai 'korban labelling', sampe-sampe gue curhat di bio instagram gue kalau gue di label sebagai sampah, wuekekek. :3
Tapi singkat aja dan nggak mendetail ya.
Jadi.. suatu hari tuh, gue melakukan kesalahan, yaitu bicara kotor dengan lantang karena emosi. Huehee, bodohnya, hal ini ketahuan sama senior. Akhirnya, gue disidang karena hal itu.
Seusai kejadian yang... kalau gue boleh jujur, bikin mental gue down itu, gue kalo di kelas diem mulu, enggak pernah aneh-aneh. Hampir seminggu gue diem di kelas dan nggak pernah aktif di kelas. Nih ya, gue orangnya kan bawel, jadi suka nimbrung apapun pokoknya, tapi setelah kejadian itu, mental gue jatuh.
Tapi, selama seminggu, gue sadar emang gue salah karena udah ngelakuin hal itu. Tapi, selama seminggu juga, gue nggak bisa berhenti mikir, kenapa gue yang di label sebagai sampah dari sekian banyak sampah yang baunya disemprot sama parfum? Hm.
Yang ngomong kotor satu sekolah juga nggak gue doang, dari beratus atau bahkan seribu siswa, yang ngomong kotor juga 90%, tapi gue yang dianggap paling sampah. Lucunya disitu! :3

Gue direndahin saat itu.
Ibarat film 'Dear Nathan' nih, gue pemainnya.......................tapi sebagai Nathan, yang dilihat sebagai sampah sama orang-orang :v
Gue dianggep nggak bisa apa-apa saat itu.
Gue dianggep orang yang paling hina sama orang-orang yang 'belum kenal gue' dan 'langsung menilai' gue karena kasus itu.
Gue jatuh, asli. Jatuh dan susah buat bangkit. Gue keluar dari sebuah program, gue nggak ada mood buat belajar, gue bener-bener males banget buat ketemu orang-orang yang melihat gue serendah itu, mencibir gue sekejam itu, dan melihat gue sebagai...... sampah, bukan manusia.
Ciailah, Nathan banget gua. Hiks.
Tapi..
Suatu ketika, gue diberi pencerahan sama orang tua gue yang memaklumi kejadian itu.
Intinya, "Kalo lo jatuh, lo bangkit. Buktiin kalo omongan mereka tentang lo salah. Kalo lo diem dan gak bergerak, artinya apa yang mereka nilai tentang lo itu bener. Bangkit, tunjukkin kalo mereka salah."
Akhirnya, gue bangkit, makin semangat ngejar apa yang gue rasa gue bisa, makin semangat buat ngelakuin hal tanpa mikir omongan orang lain yang mau menjatuhkan gue, makin semangat buat ngebuktiin kalo gue bukan sampah.

-

Ternyata nih cuy, tetep aja.

Apapun yang gue lakuin, bener dan salah, gue tetep dinilai sampah. Gue belajar, dibilang sok rajin dan cari muka. Gue dapet nilai bagus, dikira nyontek. Pelan-pelan berhenti ngomong kotor, gue dibilang berubah. Jadi pendiem, gue dibilang nggak bisa jadi diri sendiri. Murah senyum dan ramah, gue dibilang sok cantik dan genit. Temenan sama cewek, gue dibilang ngejauhin temen-temen cowok gue. (fyi, gue gak rasis sama gender. as long as they could be a true friends who stabs me in the front, then they'll be). Dan yang terakhir nih, ngakak gue. Gue temenan sama cowok, gue dibilang gak bisa jaga diri.

HAHAHA, ya gue ketawa dong? Ternyata, bukan gue yang serendah itu, tapi orang-orang yang ngerendahin gue lah yang sebenernya rendah. Kenapa? Lah mereka aja enggak bisa ngelihat hal bener dan salah. Karena kesalahan gue yang dulu aja, gue nggak bisa dilihat baik ke depannya. Terus gimana? Gue disuruh jadi Maha Benar? Ya gila lah, Nabi Adam aja tetep makan buah khuldi walau udah diingetin jangan. Heran aja sih, Allah aja bisa maafin kesalahin umatnya, kenapa umatnya susah banget buat maafin saudaranya. :(

Bener sih, karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Tapi, masih mending gue sebagai susu kena nila, warnanya pudar tapi nggak berbalik. Daripada kena tinta? Rusak lah gua sebagai susu!
Akhirnya gue sadar, ternyata tetep aja, apapun yang gue lakuin mau baik mau buruk, gue tetep aja buruk di mata mereka karena label yang diciptakan dari satu kesalahan gue.

Oke deh. Sans aja.
Orang-orang yang tahu gue juga bakal ngerti kok kalo semua manusia juga bikin salah, dan sebagai manusia yang baik adalah memaklumi kesalahan. Mau sehina apa mereka berkata tentang gue, yang tahu faktanya juga gue sendiri. Percuma buang-buang waktu buat bikin mereka percaya, cause people will always believe in themself. Kalau themself nya udah bilang gue buruk, yaudah.. yourself gue aja deh yang bilang gue baik. HEHEHE.

-

Berkaca dari kejadian gue sebagai korban labelling karena 'gue ngomong kotor', gue akhirnya bisa ngasih saran ke temen-temen gue yang lagi kena masalah serupa, yaitu direndahkan.
Tapi ternyata, beberapa temen gue kasusnya juga lucu. Mereka nggak cuma direndahkan, tapi di label juga.
Ceritanya macem-macem.
Ada yang dianggep cewek nggak baik karena intonasi ngomongnya.
Ada yang dianggep cewek murahan karena temenannya sama cowok :')
Ada yang dianggep bego karena nggak bisa jawab 1 soal di kelas.
Ada yang dianggep anak gak diurus karena dibolehin pulang malem sama Ibunya.
Ada yang dianggep gak cantik karena kulitnya hitam.
Ada yang dianggep miskin karena makannya di pinggir jalan.

DAN MASIH BANYAK LAGI HAL KONYOL LAIN YANG DILAKUKAN OLEH SOCIETY.
Heran gue sama Society Nowadays yang mengutamakan label. Nih, suka suka lo deh mau kasih nilai diri kita gimana. Tapi, masalahnya lo nggak cuma buat nilai. Tapi lo juga ngebikin label. Dan big problemsnya, label yang lo buat ini terlalu semena-mena. Lo bahkan langsung menjudge orang pada pandangan pertama. Ya kali masih mending cinta pada pandangan pertama, ini judge pada pandangan pertama. Beda kasus cuy.

-

Okay then.
LET'S GET ONE THING STRAIGHT. LET ME TELL YOU US.

Kita lahir.
Kita damai.
Tahu kenapa? Karena, tidak ada satupun bayi yang melihat bayi lain sebagai 'hitam', 'sampah', 'cewek murahan', 'kampungan'.
Bayi melihat bayi lain, sama. Sama-sama punya mata, hidung, mulut, telinga, dan hati. Sayangnya, makin gede, makin kita tahu ternyata kita ini dipasangi label.
Siapa yang memasang label? Kita sendiri!
Coba lo lihat diri lo sendiri. Sudahkah lo berhenti memasang label pada seseorang?
Gue yakin, tiap lo ketemu sama seseorang baru, lo akan lihat minus dari orang itu dan langsung melabel orang itu. Contoh.. lo ketemu sama orang yang pake sepatu KW, dan lo langsung memberi label, 'Orang miskin. Beli sepatu ori aja gak bisa.' Hehe.

-

Yuk gue kasih analogi sederhana lagi, yang entah nyambung atau enggak. Wkwk :v
Judulnya, Genre Musik.
Ada 8 orang nih dalam suatu tempat. 7 orang berdiri tegak pada genre mereka masing-masing. Orang pertama suka dengerin Nirvana, sama Pearl Jam. Orang kedua suka dengerin musik adem dari band lokal Indie semacam Payung Teduh. Orang ketiga suka banget tenang kalo udah denger simfoni nya Beethoven, Mozart, JS Bach. Keempat, suka banget sama saxophonenya Dave Koz, dan rajin banget dengerin musik Jazz. Kelima, dia suka banget sama Bring Me The Horizon, atau mungkin Suicide Silence yang tetep abadi di hatinya. Orang keenam, demen banget joget kalo lagu Yellow Claw, Jack U udah muter. Orang ketujuh, hobinya nonton konser New Palapa, dan lagi pake kaos gambar Ayu Ting-Ting. Mereka gak lama tengkar, memperebutkan genre terbaik.
Kemudian datanglah orang ke 8, lagi pake kaos Nirvana, terus tatonya sebanyak Young Lex Eminem, lagi ngebawa bukunya Fiersa Besari sama sebuah saxophone beserta partitur musik, pake snapback Yellow Claw, headphonenya terpasang rapih di telinga. Dan pas dia ngeluarin handphone, casenya bergambar logo BMTH, tapi waktu dibalik, lagu yang dia puter, 'Resah - Payung Teduh'.
Dia melepas headphonenya, bilang.. "Ini ngapain sih pada ribut?"
"Genre terbaik pokoknya Grunge!"
"Gila lo! Dangdut lah!"
"Ah, apaan sih cupu banget, ya Klasik lah."
"Jazz as always lah, apaan klasik bikin ngantuk."
"Itu tuh, folk yang cupu!"
"Ya mas Alex sang juara lah!"
"Genre tuh yang bikin semangat gitu lah, Metalcore gitu, lho."
Dan si dia cuman bilang, "Tujuan kalian memperebutkan genre biar apa?"
"..."
"Why so segmented? Musisi datang untuk musik."
"..."
"Kalian nggak suka, ya just leave it. Jangan nilai apa yang lo nggak suka itu buruk. Lo nggak bisa seenaknya menghakimi suatu genre."
"..."
"Jadi? Kalian disini untuk?"
"Musik."
..
Oke ceritanya selesai.
Nggg gimana yah.

Mereka mendengar, tujuannya untuk satu : Musik.
Kita hidup, tujuannya untuk satu : Damai.
Terus, gimana bisa lahir perdamaian kalau konflik selalu timbul hanya karena 'label' yang kita buat sendiri?
Nggak bisa seseorang menilai Jazz itu buruk, kalau yang mereka dengerin tiap hari itu Deathcore Electronica.

-

Buat kita yang masih sering ngasih label, semangat.
Nggak bisa seseorang menilai orang lain itu salah, kalau yang mereka lakuin tiap hari juga masih belum bener.
Maka, mustahillah kita melabel sesuatu kalau kita belum tahu 'apa yang kita label' itu.
We know nothing but only our own opinion, yang suaaangat amat subjektif tanpa ada keinginan untuk melihat terlebih dahulu.
Kita ini sebenernya manusia yang sangat terburu-buru dalam menilai suatu hal, tanpa ada keinginan untuk perlahan mengenal sesuatu secara mendalam sampai benar-benar paham.
Kita ini sebenernya cuma manusia yang takut dilebihi sama manusia lain, makanya kita sibuk banget buat masang label kepada manusia lain, label yang buruk, label yang rendah, label yang bikin kita percaya kita ini lebih hebat dari mereka.
Kita ini sebenernya manusia hina yang suka banget ngehina orang lain.

-

Dan buat lo kita yang terkena label, semangat.
Gue yakin label yang dikasih ke kita itu cuman penilaian subjektif semata. Gue yakin kita bisa ngehilangin 'label' jelek yang dikasih ke kita jadi 'label' yang baik.....oh, atau tanpa label. Kelihatannya lebih indah.
Gue yakin label yang dikasih ke kita itu nggak bakal bertahan lama ketika kita ada keinginan buat ngehilangen label itu tadi.

-

LETS REMIND US ABOUT THIS.

Kalau nggak ada label, kita semua jadi satu loh.
Nggak ada kata rasis.
Nggak ada miskin dan kaya, hitam dan putih, dekil dan bersih, cantik dan jelek.
Kita semua bakal jadi satu, jadi manusia, yang siap menciptakan damai.
Tanpa label, kita bisa ngehilangin konflik dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tanpa label, kita bisa nggak seegois itu dalam menilai seseorang.
Tanpa label, kita bisa jadi satu!
Kita bisa jadi diri kita sendiri, tanpa ada batasan kita takut dinilai jelek lah, miskin lah, hitam lah. Bakal nggak ada kata takut direndahkan, atau takut dilihat sebagai sampah.
Kita bakal bisa lihat sesama manusia sebagai 'manusia', nggak ada yang lebih rendah, atau lebih buruk. Nggak ada yang lebih tinggi, atau lebih baik. Nggak ada yang lebih sempurna, karena kita sejatinya cuma manusia, yang jauh dari kata sempurna.

-

Ayo, kita hilangkan label dari diri kita, dan kita hilangkan pemikiran untuk menciptakan label.
Semoga dunia ini bisa tenang tanpa label! ;)
Amin!

trite

i alw ays won der are The Smiths re ally be honest , for the h e avenly fe e li n gs o f de ad by yo u r sid e. bec ause by on ly seeing ...