Tuesday, 6 October 2020

Day 3 : A Memory

A memory, huh?

It was March 5th, 2014. 



When i hit the bottom,

when i found out that life could hit you at your finest,

when life taught you things even when you're not ready,

when days are went amazing but in the night you're just crying all over the same things & continued for 5 months,

when life taught you to see the different side in everything..

when you realized, life isn't about a good memory,

but a beautiful tragedy.



A memory, huh?

It was July 4th, 2014.



When it is not only an independence day of America,

but it is also an independance day in my life.

When you already free from everything that holds your breath,

when you can totally see everything clearly,

when all you do every night isn't crying but thanking God that you still survived till the day you think you're not.



A memory, huh?

It was January, 17th, 2017.

When i'm totally fucked up because of my own mistakes.

When almost everyone see me as 'black'.

When i'm always looking down and faking my happiness just to survive

when i really didn't want to go to school because it such a pressure,

when i need to help myself to get up

and prove to them all that they should see my white even it is just a dot in my black pages.



A memory, huh?

It was August, 5th, 2017.

When i'm going to my very first concert with my friends and didn't expect that it would be this addictive.

When i didn't care about everything but music & dreams.

When my playlist in Spotify knows me better than a human.

When all i see is happiness in the crowd,

when i see harmony in every steps i take.

It was a good memory,

a very very good memory till all i want to do is going back to that day if i could.





A memory, huh?

It was February, 16th, 2018.



When heartbreak is created by the postponed concert of your favorite band,

when everything is out of hand,

when all you can do is nothing but expecting nothing while you hurt inside & outside

When the train that supposed to free the curiosity, turns out to be the train that go home with cold reality.




A memory, huh?

It was September, 18th, 2019.



When you do the first thing that changes your life so much,

give impact so much in your life that you really grateful for that day.

When you feel the air is so much breathable with a thing called.. 

cigarettes.



A memory, huh?

It was December, 3rd, 2019.



When you have the best day with your friends

in the day you thought it wouldn't be that great.

The day you can finally run from side to side of the beach,

blaming life but still thanking for it.



A memory, huh?

It was April, 13th, 2020.



My friends said, "Find a place in this little town so that you think you should always coming back home."

I finally found a reason to always remember my home,

to always go back here,

but its not a place.

Its the people.



A memory, huh?

It was May, 23rd, 2020.



I thought i couldn't be hurt harder in love,

but starting from this date till July 27th,

i realized that.. i still have hearts that could hurted anytime even when i didn't want to.

Unpredictably hurting and deadly beautiful.

But.. hey,

i survived.




A memory, huh?

It was the beginning of this month.



When you have your homies around,

when you know them better by spending time less than a week.

When you so sure that you're right about home,

that it is not a place but its still and always be the people.



-



There will be a lot of upcoming memories, 

when everything feels so long,

a moment of ups and downs,

suprises that came with no hello,

many people that comes and goes,

and everything that happens with no intro & ending.

but..

at least,

remember that it will be lasts,

it will grow us to be a better human,

it will built us into a beautiful creature in this damn cold world.



mark my words.

<3




Monday, 5 October 2020

Day 2 : Things That Makes You Happy

Kebahagiaan itu apa sih?
Yaaa,
kesenangan.
Tapi lebih longlast, lebih langgeng, dan nggak temporary. 

Things that makes me happy?
Is.. seeing other people happy.

Entah kenapa, saya selalu merasa kalau melihat orang lain bahagia, saya ikut bahagia juga. Walau terkadang (lebih banyak seringnya sih), saya yang harus merasakan lara. Tapi, entahlah. Melihat orang lain bahagia selalu bikin saya punya energi besar untuk memulai sesuatu yang lebih berat lagi, entah apapun itu. Tapi, kalau perihal melihat orang lain bahagia, yang sering terjadi sih di kisah cinta saya. Duh, mesakke ya? Tapi, yowislah rapopo.


Things that makes me happy,
adalah bisa mencoba sesuatu yang dianggap nggak baik sama orang banyak tapi saya bisa memaknai hal baik dari hal tersebut. Jujur, saya nggak percaya kalau hal-hal itu nggak ada baiknya sama sekali. Benar salah itu relatif menurut saya. Kalau ada orang yang menganggap seseorang itu... maaf, "pelacur", saya lebih milih temenan sama mereka aja biar saya nggak cuma lihat mereka dinamai sama orang-orang sehina itu. Kalau ada orang menilai nongkrong di pinggiran sungai atau di slum area itu kampung, norak, duh.. saya mending coba nongkrong disana dulu baru menilai bener nggak sih maknanya sesuai sama namanya (yang dinamai sama orang-orang sehingga punya arti yang beda). 

Ah, sial. I think there'll be too much things that makes me happy! Terlalu mendefinisikan nggak asik juga, ya? Well, i'd rather mention things that makes me happy in one sentence aja deh~


Things that makes me happy is..
Bisa keliling naik motor di Jogjakarta dari jam 4 sampe setengah 6 sore sambil dengerin musik.
Bisa bikin playlist di Spotify yang ternyata dinikmati sama orang lain.
Bisa baca buku sampai lupa waktu.
Bisa nulis walaupun awalnya sedang nggak mood.
Bisa bikin lagu dan banjir inspirasi sampai-sampai lagunya kelar dalam satu hari.
Bisa dikasih kepercayaan untuk jadi pendengar & pemberi solusi.
Bisa (tiba-tiba) bangun jam 3 pagi buat tahajud.
Bisa ngaji dua lembar tiap habis sholat fardhu (tapi sumpaaaaah susah banget kalo yang ini, sialan)
Bisa bikin kucing langsung nempel & manja walau baru pertama kali ketemu.
Bisa punya momen minum seru sama temen-temen.
Bisa movie maraton kayak Sarah & Andre karena.. nonton film secara berturut-turut itu suliiit banget :(
Bisa jalan-jalan ke art gallery tanpa ngerasa shumuuuk Gustiii :( 
Bisa ngomongin musik secara lirik, notasi dan sejarahnya sama orang yang paham tapi nggak self-centered.
Bisa ngerokok cuman 2 batang sehari.
Bisa nahan diri untuk nggak confess ke orang yang kusayang cs i doo too much confessing feelings in the past year and i need to stop that hahaha.
Bisa nyore di ujung-ujung kota Mojokerto sambil makan mie ayam & es good day freeze kalo nggak ya nutrisari jeruk nipis aja.
Bisa dipuji masakannya sama Ibu dan Maldy. Bapak nggak soalnya udah pasti suka & lahap, MWEHEHE.
Bisa nawar harga sampe yang paling pas waktu ngethrift.
Bisa dapet buku bagus di Pasar Senthir!
Bisa temenan & sahabatan sama Ibu, soalnya beliau seru!
Bisa nggak makan daging selama seminggu.
Bisa bangun subuh & melihat sunrise ke tempat-tempat indah.
Bisa ngobrol sama orang baru di angkringan.
Bisa dicariin sama Mbak-Mbak Padmur & Bapak Angkringan
dan masih banyak lagi!!!

Oh, dan bisa nulis hal-hal diatas tanpa mikir. Natural banget deh itu pokoknya, wkwkw~


Saya rasa..
kebahagiaan itu bisa dari hal yang kecil, sampai hal yang besar. 
Bahkan terkadang, kita sering lupa kalau kebahagiaan itu nggak cuma soal menghitung apa-apa yang kita ingin, atas teruwujudnya tulisan-tulisan di wishlist yang nggak sabar ingin dicoret. Tapi, menurut saya... kebahagiaan itu sesuatu yang intim. Sesuatu yang cuma kita yang tau karena cuma kita yang ngerasain & nyadarin kebahagiaan itu tanpa perlu khawatir orang lain bisa bahagia karena hal ini nggak ya? 
As long as you're happy, even from a little things, count them in. 
Supaya jadi pribadi yang lebih baik, dan nggak ribet mikir tiap malem di kasur sambil bilang,
"Kok.. gue nggak bahagia-bahagia, ya?"


Hey,
kamu bukannya nggak bahagia,
kamu cuma belum sadar kalau kamu bahagia.

Ingat ini, 
Bahagia, itu bukan soal mewujudkan apa-apa yang ada di kepala,
tetapi bahagia itu soal membuka mata dan mensyukuri atas apa yang sudah ada.




Cheers!

Sunday, 4 October 2020

Day 1 : Describing Personality

Describing personality?


Hm, one word that suits will probably 'renegade'.

Entah mengapa tapi kalau saya telisik dan saya ingat-ingat lebih dalam lagi, dari kecil saya emang sudah "mbangkang" di setiap celah apapun yang saya temu dan kebawa sampe sekarang. Kalau lihat suatu aturan tuh rasanya selalu saya cari celahnya, dicari longgarnya, dilanggar dan bikin aturan baru. Nggak tahu ya, apa mungkin karena saya percaya kalau dalam suatu sistem pasti selalu ada cacatnya? Hehe. Jadi inget jaman SMP kalau sekolah harus pakai atribut rapih, dasi dipasang dan lainnya, saa lebih milih sweateran selama di kelas, biar gaya aja sebenernya. Tapi rasanya... beuhh, satisfying.


Saya selalu ingin jadi sorotan..... dulu.

Kalau saya cari tahu kenapa, kayaknya yaaa.. karena saya pernah jadi minoritas dan mungkin cara agar saya bisa dipandang adalah dengan stand out dan jadi beda.

Saya berusaha ngelawan standart-standart karena saya percaya kalau kita punya warna yang beda dari hitam putihnya dunia, kita lebih mempesona dan memikat mata.

Awalnya saya dulu nggak suka kalau dikatain, 


"Cewek tuh harus bersikap gini, 

pakai ini, 

dengerin kayak gini,

bercita-cita seperti ini."


 Hash, bodo amat. Lama-lama juga ternyata mereka niruin apa yang saya pakai kok. HEHE.


Tapi itu dulu, sampai akhirnya saya sudah makin tahu, makin bertambah umurnya tapi nggak tinggi badannya  menemukan betapa asyiknya menjadi man behind ketimbang jadi front man. Jadi, 'saya yang sekarang' adalah saya yang ......udahlah, mending nggak kelihatan aja sama orang-orang tapi tetep livin the life that i want. Asheg~

   

    Saya juga orangnya sangat mencintai tragedi, dan membiasakan diri untuk terbiasa dengan hal-hal yang menyedihkan dalam hidup. Hehe. Aneh, ya? Tapi sumpah beneran deh. Terhadap hal-hal yang menyedihkan, saya selalu menganggap ada hal baik yang datang setelahnya. Satu tragedi paling besar dalam hidup saya mengajarkan saya banyak hal dan membuat saya percaya perihal yin yang dan wu wei. Jadi tuh, tiap saya dapet hal yang menyedihkan dalam hidup, yaudah saya tangisin. Abis nangis, saya selalu pasang kepercayaan bahwa there's something better after this, don't fall too hard but don't get up early either. Enjoy the worst part in the downs. Sebaliknya pula, kalau ada hal yang membahagiakan, yaudah saya nikmatin saat itu aja. Saya nggak mau membunuh diri saya sendiri dengan tenggelam dalam kebahagiaan yang fana karena there must be downs after ups, and the otherwise. Because, life is a rollercoaster, isn't it? Hehe.


 Its hard to say this but honestly... i'm a good talker & good listener. Dengerin cerita orang adalah bagian dari hobi saya sejak masih SD. Kalau ada temen saya curhat, selalu saya prioritasin daripada apapun. Saya selalu ngerasa kalau udah bisa dengerin masalah orang, terus kasih wejangan ke mereka dan bantu mereka kasih solusi itu bijaksana banget. Dan jaman kecil, siapa sih yang kepikiran buat jadi orang bijaksana kayak orang dewasa? Wkwk, jarang. Kembali lagi, saya pengen stand out, pengen punya jobdesc yang paling beda hehehe. Ya akhirnya, menjadi beda dengan bersikap bijaksana adalah pilihan saya saat itu. Halah halah~ Nah, karena hobinya saya ngasih solusi, mungkin itu juga yang secara nggak langsung ngebikin saya menjadi good talker. Tapi tetep aja, kalo disuruh presentasi, begejekan mulu. Suka nggak tahu tempat kadang :(


Oh! Saya juga orangnya "ngikutin kata hati" banget! Sebenernya cuma gara-gara kakak saya dulu yang pernah kasih 1 kata-kata buat bekal saya mengejar mimpi saya,

               

"Pokoknya.. do what you love, sampe nanti kamu pas kerja bisa bilang you love what you do."


 Itu deh, yang berhasil ngebikin saya benar-benar masih idealis (apalagi di usia segini kan) soal mimpi, dan ngotot gimana caranya saya pokoknya bisa bekerja sesuai hati saya maunya apa. Banyak yang bilang kan, realistis aja jadi manusia soalnya ntar kalo ngikutin kata hati mah, nggak makan berhari-hari. Bener sih....... tapi... coba dulu deh, kan saya pembangkang. HEHE~


Kalo di recap, boleh jadi saya ini bunglon. Tapi protagonis. 

    Bunglon kan mimikri tuh, gampang berbaur deh dimana aja bahkan di lingkungan baru. Tapi, saya nggak maksain terus sok asik gitu ya. Duh nggak, dan jangan :( Kenapa protagonis soalnya walau saya gampang berubah-ubah warna, tapi konotasinya positif aja, bisa berbaur itu tadi. Bukannya berubah-rubah warna, gampang nempel dimana aja tapi parasit. Saya bunglon, bukan benalu~~ 

    Tapi dewasa ini, kayaknya saya udah kehabisan energi buat menanam lagi. Saya pengen menuai apa-apa yang dulu udah saya tanam aja, deh. Punya teman secuckupnya tapi loyal aja, karena percuma tuh banyak kalau nggak supportif terus malah menjatuhkan. Ngomong seperlunya aja, karena ternyata silence is gold, pun juga nggak sepenuhnya bicara itu harus selalu pakai kata-kata sih, kalau menurut saya. Mendengar dan memberi solusi ketika dibutuhkan dan dapet panggilan aja, karena sakit banget rasanya ketika kita panggil-panggil mereka saat kita jatuh, tapi mereka nggak ngangkat. HEHE, di silent kali ya, sialan.


Yaaah, gitu deh. 

Kayaknya banyak bener ya tulisan saya soal personality? Jadi ngerasa self-centered banget, ah. 
Udah intinya, personality itu nggak bisa mutlak kalo menurut saya.

Soalnya, stages in life kan berubah-ubah tuh, dan kita nih nggak tahu kita ini akan berhenti di titik mana untuk punya personality yang seperti apa.

Toh, 

the writings above is based on how i see myself, kan. It should be different if i get known by anyone else. 

Jadi, 

kalau mau menilai saya,

yukkk ketemu aja!

Ngopi & ngobrol.








Jam 2 malem keatas aja tapi,


saya jujur-jujurnya jam segituan soalnya, hehe.






Cheers!

Sunday, 6 September 2020

Well-Planned/Well-Now Life?

 "Sialan, udah 22 aja. 3 tahun lagi, udah deket sama target nikah. Gue belum ngapa-ngapain. Gimana, dong?!"

***

            Teruntuk orang-orang yang masih menjadikan usia adalah standart untuk mematok suatu kesuksesan dalam hidup, .....screw you. Ciaaa~ Nggak deng. Gini.

            Secara tidak kita sadari, masih banyak orang di sekeliling kita yang menjadikan usia sebagai suatu standart dalam pencapaian seseorang. Bagi orang-orang yang seperti itu, achievement harus dipatok usia. Usia 25 harus sudah nikah, usia 27 harus sudah keliling dunia, usia 30 harus punya rumah, dan sebagainya.

            Tapi, ngomong-ngomong, standart ini sebenernya yang bikin siapa, sih? Kok sampe sepopuler ini, dan adapula yang menjadikan ini sebagai suatu prinsip. Saya sebagai penganut 'live in the now' life, bukan berarti melawan keras orang yang hidupnya well-planned dan well-prepared. Cuma, saya nggak suka aja kalau ada hidup orang-orang yang 'live in the now' ini dikata-katain sama orang-orang yang hidupnya 'well-planned', dianggap rendah dan gak berbobot seolah-olah semura orang itu hidupnya harus bener-bener tertata dan tepat sesuai rencana.

            Bagi saya, nggak ada yang lebih baik kalau keduanya dibandingkan, mau orang yang hidupnya memilih buat "yaudah lah i live the life now" atau "bentar-bentar, live my life nya nanti aja kalo udah kesampean semuanya". Nggak ada yang lebih baik karena ini persoalan pilihan hidup, dan medan hidup yang dialaminya.

            Tapi menariknya, masih ada beberapa orang yang nggak berani sounding kalo mereka ini termasuk orang yang "live in the now". Beberapa masih terbungkam sama standart orang-orang yang hidupnya tertata dan meromantisasi pencapaian berdasarkan usia. Masih takut kalau memperlihatkan prinsip 'livin the moment' disangka hidupnya selalu seneng-seneng doang, nggak punya arah dan nggak tahu tujuan. Disangkanya orang-orang yang livin the moment cuma fokus pada kebahagiaannya sekarang dan enggak mikirin kebahagiaannya nanti.

            Ada nih, salah satu dialog dalam film Paper Towns yang kurang lebih mengatakan bahwa saat usia sudah diatas 30, lulus kuliah, menikah dan punya rumah, "And then you'll be happy? Why not living in the moment and just be happy?" Dari situ kita pun juga bisa tahu bahwa mengapa harus menunggu usia 30 hanya untuk bahagia? Mengapa tidak bahagia saat ini juga?

            Dan saya, sangat sepakat akan hal itu. Menurut saya, nggak perlu lah nungguin usia menginjak 30 tahun untuk bahagia. Nggak perlulah menganggap pencapaian yang kita punya 'di usia yang seharusnya' itu jadi satu-satunya alasan buat bisa hidup bahagia. Semua nggak bisa dipukul rata, dan nggak semua mimpi harus dinamai sesuai dengan usia. Lagi-lagi, usia.. cuma.. angka.

            Ada juga salah satu tweet Tara Basro yang kemarin sempet trending yaitu perihal me-normalize orang-orang yang baru menemukan cinta sejatinya di usia 40, menemukan mimpinya di usia 30 dan lainnya.

            Saya sangat sepakat. Karena..

            That's just happens. That's just really happens.

            Ternyata salah satu teman saya yang usianya 26, merasa dia stuck banget dengan pencapaiannya. Pekerjaan tetap belum dimiliki olehnya, pasangan belum jadi hal yang penting untuk dimilikinya, dan ia selalu merasa sepertinya 'pencapaian'nya selalu kurang di angka 26nya. Prihatinnya, dia merasa begitu karena tuntutan orang tuanya untuk harus sudah mapan dan punya rumah di usia 28, segera menikah di usia 30, dan hidup bahagia setelahnya.

            Sempat-sempatnya, ada dialog yang terjadi dan kata-kata darinya yang kurang lebih seperti ini : "Gue nggak tahu gue mau dan bisa jadi apa. Gue nggak tahu gue harus apa. Gue ngerasa gue belum ngapa-ngapain, dan gue bener-bener nggak tahu gue ini mau ngapain. Masa iya tiap hari gue gini-gini doang?" kata dia.

            Dari kenyataan ini, saya semakin yakin, bahwa.. Yaudahlah, saya tetep pegang prinsip livin the life i have right now aja. Karena, age is just a number, yet it doesn't define any dreams, and any achievement at that numbers. Tapi, bukan berarti saya nggak mencanangkan hal-hal yang mau saya lakukan & saya tuju juga. Bukan berarti saya nggak punya mimpi atau bahkan nggak melangkah juga.

            Melangkah itu wajib dan harus. Tetapi, kalau kita terlalu memikirkan kemana kita ingin melangkah, terkadang malah jadi boomerang juga untuk nggak segera melangkah. Bahaya dong, kalo ekspektasi lancar, tapi eksekusinya buyar? Hehehe.

            Silahkan menghidupi apa-apa yang kamu yakini. Kalau memang mau mengikuti standart yang entah kreatornya siapa, ya monggo menjadikan hidupnya sangat well-planned dan well-prepared. Tapi ternyata kalau mau menghidupi kehidupan live in the moment, ya.. yasudah. Tidak menghakimi & mengusik satu sama lain kayaknya lebih asyik. Intinya cuma 2 sih, mau walk freely atau carefully. 



Cheers~

Monday, 13 August 2018

The Perks of being Half Left-Handed until 2018

Galaksi punya berjuta planet.

Dari jutaan planet, ada satu planet yang dinamakan, 'Bumi'.

Di Bumi, terdapat ratusan negara yang menghidupinya.

Salah satu dari ratusan negara tersebut adalah, 'Indonesia'.

Indonesia punya beribu pulau.

Dan salah satu diantaranya adalah pulau 'Jawa'.

Pulau Jawa memiliki berjuta penduduk.

Dan dari jutaan penduduk tersebut,

tak semuanya melakukan aktivitas menggunakan tangan kanan.

Yap, ada 1 per 10 mungkin dari mereka pengguna tangan kiri. Dan saya, termasuk.


Dulu.



___________________________




HALO!

ApH4 QbAr??

Wqwq bercanda.

Gimana kabar?

Sudah bahagia atau masih berduka?

Dah... jangan larut terlalu lama dalam duka, nga baek.


Oke, jadi..

dalam rangka Left-Handed Day yang dirayakan tiap 13 Agustus,
saya membuat post ini.

Spoiler aja,
yah.. biar to the point aja.
Post ini bertemakan tentang bagaimana saya menghidupi hidup saya selama 17 tahun sebagai pengguna kedua tangan, dan cukup terintimidasi olehnya.
Bagaimana ceritanya? BEGINI.

__________________________

Singkat cerita,
di suatu siang yang panas, saya sama Ibu saya keluar belanja ke pasar. Selepas itu, kami berdua ingin makan karena lapar. Nah, menu yang kami pilih pun tak cukup tepat, karena siang-siang panas, kami milihnya baso. Hm.

Saat makanan sudah hampir habis, kami sudah mulai mengobrol dan bercerita.
Kejadiannya begini, saya menggunakan tangan kanan saya untuk mengambil es cao saya. Karena ingin menyambi, saya mengambil sesendok kuah baso dengan tangan kiri saya dan menyuapkannya.
Awalnya saya biasa saja,
tapi.. Ibu saya ngeliatin saya muluuuu. Peka dong saya.
Akhirnya saya tuker tangan saya yang kanan buat ngambil kuah baso dengan sendok. Ibu saya cuma ketawa pada saat itu.

Sampe akhirnya, saya ngewawancara Ibu saya. Tapi, saya memulainya dengan dialog yang cukup konyol. Kira kira begini deh,

Saya : "Bu, nanti kalo aku punya suami, orang tuanya marah nggak ya kalo aku kidal?"
Ibu : "Nah, makanya.. Biasain dari sekarang berubah tangannya."
Saya : "Tapi masa bisa sih, tingkat kesopanan dinilai dari tangan? Atau emang orang Jawa doang yang gitu?"
Ibu : "Ya, sebenarnya nggak juga sih."


Keluarga besar saya, baik dari Bapak maupun Ibu, itu benar-benar mewajibkan etika yang baik dan sopan. Dari yang paling sederhana aja, penggunaan bahasa berdasarkan tingkatan ngoko-krama, atau panggilan berdasar silsilah keluarga dan bukan berdasar usia.
Termasuk dengan kesopanan beraktivitas lainnya. Hanya saja, saya yang salah kaprah sendiri.
Saya pake tangan kiri, di masa kecil saya yang bikin saya akhirnya ditakutkan sejak kecil, "Iki bocah kok kidal, kudu piye?" 


Ibu : "Ibu itu dulu bingung, mau digimanain biar kamu nggak kidal. Eyang Tie selalu pesen ke Ibu, kamu itu harus dilatih biar nggak kidal. Sampe-sampe Ibu ke psikiater."
Saya : "Hah? Ngapain ke psikiater?"
Ibu : "Ya tanyaaa biar kamu nggak kidal itu nyembuhinnya gimana."
Saya : "...."
Ibu : "Akhirnya, Ibu mesti naruh tangan kamu di belakang kalo kamu tak gendong. Pokoknya, tak tahan biar nggak gerak yang tangan kiri."
Saya : "Lha kenapa?"
Ibu : "Lha tanganmu yang kiri itu lho, gerak terus!"


I found it interesting dude. Soalnya, selama ini yang saya tahu, saya kidal itu karena saya suka bermain sama tetangga sebelah rumah saya yang juga kebetulan kidal jadinya saya ketularan kebiasaannya itu.


Saya : "Bukannya aku kidal gara-gara Pak ****?"
Ibu : "Nggak. Kamu itu kidal dari kecil, nah terus ternyata kok ya kebetulan Pak **** itu juga kidal. Cocok! Kamu mainnya kesana tiap hari lagi. Tambah sumpek Ibu."
Saya : "Hahaha. Terus terus?"
Ibu : "Ya gitu, Ibu pokoknya cari cara terus biar kamu gak kidal. Sampe akhirnya, kamu di opname kan sakit waktu itu. Ibu minta susternya gimana caranya pokoknya harus disuntik di tangan kiri, biar tangan kananmu itu belajar."


Hahaha, saya jadi ingat. Waktu kelas 5 dulu, saya pernah nerbitin kumcer judulnya 'Fotografer Cilik' dan salah satu cerpen di dalamya ada yang berjudul 'Terima Kasih, Dokter!'. Dan di cerpen itu saya menceritakan gimana saya bisa belajar tangan kanan.
Iyap saya inget. Saya dari kecil emang sering banget keluar masuk rumah sakit, di opname karena thypus. Dan itu peluang buat Ibu saya biar saya bisa belajar tangan kanan. Hm, cerdik juga.
Saya nangis waktu itu, soalnya saya kan semangat-semangatnya belajar nulis, eh.. pas disuruh nulis 'bismillah' kok baru sadar yang diinfus tangan kiri, saya gabisa nulis dong.. panik dong.. nangis dong..

Tapi, akhirnya..
dari kejadian itu, saya jadi perlahan belajar untuk nulis pake tangan kanan. Alhamdulillah, pelan-pelan.. saya bisa nulis pake tangan kanan, horeeee!! :D

____________________


Sebenernya, kalo dibilang left-handed, itu nggak bisa. Soalnya, saya sekarang sudah bisa melakukan aktivitas dengan tangan kanan.
Tapi, kalo dibilang 'mantan' left-handed pun, itu lebih nggak bisa. Soalnya, saya juga sadar, nggak semua yang saya lakukan itu dengan tangan kanan.
Saya sampe sekarang nggak bisa menyapu, menggunting pake tangan kanan. Hehe. Aneh ya.
Terus kadang, saya kebablasan aja gitu nyahut-nyahut barang pake tangan kiri (kecuali ngasihin barang ke orang ya! *tapi saya kadang masih suka salah tangan*), atau makan pake tangan kiri kalo lagi mager gitu.
Oleh karena itu, saya memanggil diri saya ... 'half' left-handed :3

Tentu,
hidup di Indonesia, apalagi di Jawa, itu merupakan suatu kesulitan tersendiri kalo kamu mau beraktivitas pake tangan kiri. Abisnya, kita dianggap nggak sopan. Tapi ada enaknya, kadang.. kita dianggep pintar karena penggunaan tangan kiri itu. Padahal aslinya ya.. podo wae -_-

Nah..
That's why i wanna share some of my 'perspective' about being a half left-handed. And also, both of good and bad impacts.


1. Kamu nggak sopan
Di lingkungan saya, mayoritas adalah pengguna tangan kanan yang artinya saya minoritas.
Asli sih, misalnya saya keceplosan ngambil kuah sayur asem pake tangan kiri (karena kalo pake tangan kanan pasti tumpah), pasti langsung disorot sama mata-mata tajam mereka sambil agak ngebentak, "LAH! Kok pake tangan kiri?"
DHIER.

1.1 Kamu mendadak diperhatiin
Tetapi, setelah kamu disemprot sama pertanyan loh kok pake tangan kiri itu, kamu langsung ditanyain, "Lho, kamu sejak kapan kidal?"
Akhirnya ditanyain asal muasal pusar kehidupan/

2. Kamu adalah kaum setan
Gila ya, ngeri juga pas saya baca fakta-fakta orang kidal di internet.
Kita yang kidal ini, pengguna tangan kiri, pengguna tangan jelek ini, dianggep kaum setan coyyy. Walah.
Padahal, saya percaya, bahwa Tuhan gak akan menciptakan sesuatu yang sia-sia. Ganja aja yang dianggap tabu disini aja masih punya manfaat dan nilai guna, mengapa tangan kiri enggak?
Yaa, memang sih beberapa dakwah Rasul, itu nggak memperbolehkan umatnya menggunakan tangan kiri karena memang setan menggunakan tangan kirinya untuk melakukan apapun.
Kalo bicaraa soal dakwah Rasul, saya angkat tangan deh. Makanya saya juga agak meminimalisir penggunaan tangan kiri kalo memang masih bisa digunakan pake tangan kanan. Hwehe.

2.1 Kamu dianggep cerdas
Biarpun kamu dianggep kaum setan sama sebagian orang, santai. Masih ada sisa dari sebagian itu yang menganggap kamu beda. Kamu dianggapnya lebih cerdas. Denger-denger nih, katanya orang kidal itu bisa menyeimbangkan pemikiran gitu. Gak jarang juga tokoh-tokoh hebat itu pake tangan kiri. Baca-baca.... gitu sih.


3. Kamu pemalu dan emosional
Ini bener banget.
Kalau berdasarkan pengalaman saya, saya orangnya pemalu banget. Duluuuu. Terus saya sempat benar-benar yaaa gitu lah kalo kata orang-orang saya benar-benar extrovert parah, kelihatannya ceria terus padahal aslinya juga biasa aja :v Yeaahh namanya juga pipel.
Terus, kalo soal emosional, bener. Gak jarang orang kidal itu biasanya lebih emosional dan mudah tersinggung. Tapi, menurut saya.. kayaknya itu lebih masuk akal kalo dikaitin sama usia sihh. Soalnya usia-usia labil biasanya ya usia anak muda itu, yang menyebabkan mereka gampang bingung, gampang terombang-ambing dan gampang emosi. NGEHEHE.

3.1 Kamu unik 
Yaaa gitu.
Orang kidal biasanya punya keunikan masing-masing.
Keunikan saya?
HMMM APE YEH.
Hahaha, gatau deng.

Baca-baca (lagi) di internet, ada satu fakta bilang bahwa orang kidal biasanya itu pemberontak gitu. Ya cocoklah. Saya pemberontak parah, jarang nurut sama aturan, dan sering menyalahkan cacat sistem.

__________________________

Yaaaah
Itu sih fakta-fakta menarik yang cuma secuil.

Intinya apa yaaah..

Saya cuma mau menyampaikan aja..

Sebenernya nggak ada beda kok, antara left-handed atau right-handed. Sama-sama pengguna tangan kan :v
Bedanyaaa sih, kalau di Indonesia sejauh ini.. apalagi di Jawa,
left-handed itu semacam dipandang se'aneh' itu aja.

Kalau kalian nemuin temen kidal, tolong jangan di diskriminasi aja sih.
Kadang ada yang menjadikan itu sebagai bahan candaan belaka, tapi kadang ada juga yang masuk ke hati gitu.










APASIH ANJIR ASLI NGGA NYAMBUNG PARAH.









Happy Left Handed Day pokoknya!!!

Much love from ex-left handed that still use left-hand sometimes so that i'll call myself half left-handed and i'm....

fucking..

proud.

MUACH :*

trite

i alw ays won der are The Smiths re ally be honest , for the h e avenly fe e li n gs o f de ad by yo u r sid e. bec ause by on ly seeing ...