Sunday, 4 October 2020

Day 1 : Describing Personality

Describing personality?


Hm, one word that suits will probably 'renegade'.

Entah mengapa tapi kalau saya telisik dan saya ingat-ingat lebih dalam lagi, dari kecil saya emang sudah "mbangkang" di setiap celah apapun yang saya temu dan kebawa sampe sekarang. Kalau lihat suatu aturan tuh rasanya selalu saya cari celahnya, dicari longgarnya, dilanggar dan bikin aturan baru. Nggak tahu ya, apa mungkin karena saya percaya kalau dalam suatu sistem pasti selalu ada cacatnya? Hehe. Jadi inget jaman SMP kalau sekolah harus pakai atribut rapih, dasi dipasang dan lainnya, saa lebih milih sweateran selama di kelas, biar gaya aja sebenernya. Tapi rasanya... beuhh, satisfying.


Saya selalu ingin jadi sorotan..... dulu.

Kalau saya cari tahu kenapa, kayaknya yaaa.. karena saya pernah jadi minoritas dan mungkin cara agar saya bisa dipandang adalah dengan stand out dan jadi beda.

Saya berusaha ngelawan standart-standart karena saya percaya kalau kita punya warna yang beda dari hitam putihnya dunia, kita lebih mempesona dan memikat mata.

Awalnya saya dulu nggak suka kalau dikatain, 


"Cewek tuh harus bersikap gini, 

pakai ini, 

dengerin kayak gini,

bercita-cita seperti ini."


 Hash, bodo amat. Lama-lama juga ternyata mereka niruin apa yang saya pakai kok. HEHE.


Tapi itu dulu, sampai akhirnya saya sudah makin tahu, makin bertambah umurnya tapi nggak tinggi badannya  menemukan betapa asyiknya menjadi man behind ketimbang jadi front man. Jadi, 'saya yang sekarang' adalah saya yang ......udahlah, mending nggak kelihatan aja sama orang-orang tapi tetep livin the life that i want. Asheg~

   

    Saya juga orangnya sangat mencintai tragedi, dan membiasakan diri untuk terbiasa dengan hal-hal yang menyedihkan dalam hidup. Hehe. Aneh, ya? Tapi sumpah beneran deh. Terhadap hal-hal yang menyedihkan, saya selalu menganggap ada hal baik yang datang setelahnya. Satu tragedi paling besar dalam hidup saya mengajarkan saya banyak hal dan membuat saya percaya perihal yin yang dan wu wei. Jadi tuh, tiap saya dapet hal yang menyedihkan dalam hidup, yaudah saya tangisin. Abis nangis, saya selalu pasang kepercayaan bahwa there's something better after this, don't fall too hard but don't get up early either. Enjoy the worst part in the downs. Sebaliknya pula, kalau ada hal yang membahagiakan, yaudah saya nikmatin saat itu aja. Saya nggak mau membunuh diri saya sendiri dengan tenggelam dalam kebahagiaan yang fana karena there must be downs after ups, and the otherwise. Because, life is a rollercoaster, isn't it? Hehe.


 Its hard to say this but honestly... i'm a good talker & good listener. Dengerin cerita orang adalah bagian dari hobi saya sejak masih SD. Kalau ada temen saya curhat, selalu saya prioritasin daripada apapun. Saya selalu ngerasa kalau udah bisa dengerin masalah orang, terus kasih wejangan ke mereka dan bantu mereka kasih solusi itu bijaksana banget. Dan jaman kecil, siapa sih yang kepikiran buat jadi orang bijaksana kayak orang dewasa? Wkwk, jarang. Kembali lagi, saya pengen stand out, pengen punya jobdesc yang paling beda hehehe. Ya akhirnya, menjadi beda dengan bersikap bijaksana adalah pilihan saya saat itu. Halah halah~ Nah, karena hobinya saya ngasih solusi, mungkin itu juga yang secara nggak langsung ngebikin saya menjadi good talker. Tapi tetep aja, kalo disuruh presentasi, begejekan mulu. Suka nggak tahu tempat kadang :(


Oh! Saya juga orangnya "ngikutin kata hati" banget! Sebenernya cuma gara-gara kakak saya dulu yang pernah kasih 1 kata-kata buat bekal saya mengejar mimpi saya,

               

"Pokoknya.. do what you love, sampe nanti kamu pas kerja bisa bilang you love what you do."


 Itu deh, yang berhasil ngebikin saya benar-benar masih idealis (apalagi di usia segini kan) soal mimpi, dan ngotot gimana caranya saya pokoknya bisa bekerja sesuai hati saya maunya apa. Banyak yang bilang kan, realistis aja jadi manusia soalnya ntar kalo ngikutin kata hati mah, nggak makan berhari-hari. Bener sih....... tapi... coba dulu deh, kan saya pembangkang. HEHE~


Kalo di recap, boleh jadi saya ini bunglon. Tapi protagonis. 

    Bunglon kan mimikri tuh, gampang berbaur deh dimana aja bahkan di lingkungan baru. Tapi, saya nggak maksain terus sok asik gitu ya. Duh nggak, dan jangan :( Kenapa protagonis soalnya walau saya gampang berubah-ubah warna, tapi konotasinya positif aja, bisa berbaur itu tadi. Bukannya berubah-rubah warna, gampang nempel dimana aja tapi parasit. Saya bunglon, bukan benalu~~ 

    Tapi dewasa ini, kayaknya saya udah kehabisan energi buat menanam lagi. Saya pengen menuai apa-apa yang dulu udah saya tanam aja, deh. Punya teman secuckupnya tapi loyal aja, karena percuma tuh banyak kalau nggak supportif terus malah menjatuhkan. Ngomong seperlunya aja, karena ternyata silence is gold, pun juga nggak sepenuhnya bicara itu harus selalu pakai kata-kata sih, kalau menurut saya. Mendengar dan memberi solusi ketika dibutuhkan dan dapet panggilan aja, karena sakit banget rasanya ketika kita panggil-panggil mereka saat kita jatuh, tapi mereka nggak ngangkat. HEHE, di silent kali ya, sialan.


Yaaah, gitu deh. 

Kayaknya banyak bener ya tulisan saya soal personality? Jadi ngerasa self-centered banget, ah. 
Udah intinya, personality itu nggak bisa mutlak kalo menurut saya.

Soalnya, stages in life kan berubah-ubah tuh, dan kita nih nggak tahu kita ini akan berhenti di titik mana untuk punya personality yang seperti apa.

Toh, 

the writings above is based on how i see myself, kan. It should be different if i get known by anyone else. 

Jadi, 

kalau mau menilai saya,

yukkk ketemu aja!

Ngopi & ngobrol.








Jam 2 malem keatas aja tapi,


saya jujur-jujurnya jam segituan soalnya, hehe.






Cheers!

Sunday, 6 September 2020

Well-Planned/Well-Now Life?

 "Sialan, udah 22 aja. 3 tahun lagi, udah deket sama target nikah. Gue belum ngapa-ngapain. Gimana, dong?!"

***

            Teruntuk orang-orang yang masih menjadikan usia adalah standart untuk mematok suatu kesuksesan dalam hidup, .....screw you. Ciaaa~ Nggak deng. Gini.

            Secara tidak kita sadari, masih banyak orang di sekeliling kita yang menjadikan usia sebagai suatu standart dalam pencapaian seseorang. Bagi orang-orang yang seperti itu, achievement harus dipatok usia. Usia 25 harus sudah nikah, usia 27 harus sudah keliling dunia, usia 30 harus punya rumah, dan sebagainya.

            Tapi, ngomong-ngomong, standart ini sebenernya yang bikin siapa, sih? Kok sampe sepopuler ini, dan adapula yang menjadikan ini sebagai suatu prinsip. Saya sebagai penganut 'live in the now' life, bukan berarti melawan keras orang yang hidupnya well-planned dan well-prepared. Cuma, saya nggak suka aja kalau ada hidup orang-orang yang 'live in the now' ini dikata-katain sama orang-orang yang hidupnya 'well-planned', dianggap rendah dan gak berbobot seolah-olah semura orang itu hidupnya harus bener-bener tertata dan tepat sesuai rencana.

            Bagi saya, nggak ada yang lebih baik kalau keduanya dibandingkan, mau orang yang hidupnya memilih buat "yaudah lah i live the life now" atau "bentar-bentar, live my life nya nanti aja kalo udah kesampean semuanya". Nggak ada yang lebih baik karena ini persoalan pilihan hidup, dan medan hidup yang dialaminya.

            Tapi menariknya, masih ada beberapa orang yang nggak berani sounding kalo mereka ini termasuk orang yang "live in the now". Beberapa masih terbungkam sama standart orang-orang yang hidupnya tertata dan meromantisasi pencapaian berdasarkan usia. Masih takut kalau memperlihatkan prinsip 'livin the moment' disangka hidupnya selalu seneng-seneng doang, nggak punya arah dan nggak tahu tujuan. Disangkanya orang-orang yang livin the moment cuma fokus pada kebahagiaannya sekarang dan enggak mikirin kebahagiaannya nanti.

            Ada nih, salah satu dialog dalam film Paper Towns yang kurang lebih mengatakan bahwa saat usia sudah diatas 30, lulus kuliah, menikah dan punya rumah, "And then you'll be happy? Why not living in the moment and just be happy?" Dari situ kita pun juga bisa tahu bahwa mengapa harus menunggu usia 30 hanya untuk bahagia? Mengapa tidak bahagia saat ini juga?

            Dan saya, sangat sepakat akan hal itu. Menurut saya, nggak perlu lah nungguin usia menginjak 30 tahun untuk bahagia. Nggak perlulah menganggap pencapaian yang kita punya 'di usia yang seharusnya' itu jadi satu-satunya alasan buat bisa hidup bahagia. Semua nggak bisa dipukul rata, dan nggak semua mimpi harus dinamai sesuai dengan usia. Lagi-lagi, usia.. cuma.. angka.

            Ada juga salah satu tweet Tara Basro yang kemarin sempet trending yaitu perihal me-normalize orang-orang yang baru menemukan cinta sejatinya di usia 40, menemukan mimpinya di usia 30 dan lainnya.

            Saya sangat sepakat. Karena..

            That's just happens. That's just really happens.

            Ternyata salah satu teman saya yang usianya 26, merasa dia stuck banget dengan pencapaiannya. Pekerjaan tetap belum dimiliki olehnya, pasangan belum jadi hal yang penting untuk dimilikinya, dan ia selalu merasa sepertinya 'pencapaian'nya selalu kurang di angka 26nya. Prihatinnya, dia merasa begitu karena tuntutan orang tuanya untuk harus sudah mapan dan punya rumah di usia 28, segera menikah di usia 30, dan hidup bahagia setelahnya.

            Sempat-sempatnya, ada dialog yang terjadi dan kata-kata darinya yang kurang lebih seperti ini : "Gue nggak tahu gue mau dan bisa jadi apa. Gue nggak tahu gue harus apa. Gue ngerasa gue belum ngapa-ngapain, dan gue bener-bener nggak tahu gue ini mau ngapain. Masa iya tiap hari gue gini-gini doang?" kata dia.

            Dari kenyataan ini, saya semakin yakin, bahwa.. Yaudahlah, saya tetep pegang prinsip livin the life i have right now aja. Karena, age is just a number, yet it doesn't define any dreams, and any achievement at that numbers. Tapi, bukan berarti saya nggak mencanangkan hal-hal yang mau saya lakukan & saya tuju juga. Bukan berarti saya nggak punya mimpi atau bahkan nggak melangkah juga.

            Melangkah itu wajib dan harus. Tetapi, kalau kita terlalu memikirkan kemana kita ingin melangkah, terkadang malah jadi boomerang juga untuk nggak segera melangkah. Bahaya dong, kalo ekspektasi lancar, tapi eksekusinya buyar? Hehehe.

            Silahkan menghidupi apa-apa yang kamu yakini. Kalau memang mau mengikuti standart yang entah kreatornya siapa, ya monggo menjadikan hidupnya sangat well-planned dan well-prepared. Tapi ternyata kalau mau menghidupi kehidupan live in the moment, ya.. yasudah. Tidak menghakimi & mengusik satu sama lain kayaknya lebih asyik. Intinya cuma 2 sih, mau walk freely atau carefully. 



Cheers~

Monday, 13 August 2018

The Perks of being Half Left-Handed until 2018

Galaksi punya berjuta planet.

Dari jutaan planet, ada satu planet yang dinamakan, 'Bumi'.

Di Bumi, terdapat ratusan negara yang menghidupinya.

Salah satu dari ratusan negara tersebut adalah, 'Indonesia'.

Indonesia punya beribu pulau.

Dan salah satu diantaranya adalah pulau 'Jawa'.

Pulau Jawa memiliki berjuta penduduk.

Dan dari jutaan penduduk tersebut,

tak semuanya melakukan aktivitas menggunakan tangan kanan.

Yap, ada 1 per 10 mungkin dari mereka pengguna tangan kiri. Dan saya, termasuk.


Dulu.



___________________________




HALO!

ApH4 QbAr??

Wqwq bercanda.

Gimana kabar?

Sudah bahagia atau masih berduka?

Dah... jangan larut terlalu lama dalam duka, nga baek.


Oke, jadi..

dalam rangka Left-Handed Day yang dirayakan tiap 13 Agustus,
saya membuat post ini.

Spoiler aja,
yah.. biar to the point aja.
Post ini bertemakan tentang bagaimana saya menghidupi hidup saya selama 17 tahun sebagai pengguna kedua tangan, dan cukup terintimidasi olehnya.
Bagaimana ceritanya? BEGINI.

__________________________

Singkat cerita,
di suatu siang yang panas, saya sama Ibu saya keluar belanja ke pasar. Selepas itu, kami berdua ingin makan karena lapar. Nah, menu yang kami pilih pun tak cukup tepat, karena siang-siang panas, kami milihnya baso. Hm.

Saat makanan sudah hampir habis, kami sudah mulai mengobrol dan bercerita.
Kejadiannya begini, saya menggunakan tangan kanan saya untuk mengambil es cao saya. Karena ingin menyambi, saya mengambil sesendok kuah baso dengan tangan kiri saya dan menyuapkannya.
Awalnya saya biasa saja,
tapi.. Ibu saya ngeliatin saya muluuuu. Peka dong saya.
Akhirnya saya tuker tangan saya yang kanan buat ngambil kuah baso dengan sendok. Ibu saya cuma ketawa pada saat itu.

Sampe akhirnya, saya ngewawancara Ibu saya. Tapi, saya memulainya dengan dialog yang cukup konyol. Kira kira begini deh,

Saya : "Bu, nanti kalo aku punya suami, orang tuanya marah nggak ya kalo aku kidal?"
Ibu : "Nah, makanya.. Biasain dari sekarang berubah tangannya."
Saya : "Tapi masa bisa sih, tingkat kesopanan dinilai dari tangan? Atau emang orang Jawa doang yang gitu?"
Ibu : "Ya, sebenarnya nggak juga sih."


Keluarga besar saya, baik dari Bapak maupun Ibu, itu benar-benar mewajibkan etika yang baik dan sopan. Dari yang paling sederhana aja, penggunaan bahasa berdasarkan tingkatan ngoko-krama, atau panggilan berdasar silsilah keluarga dan bukan berdasar usia.
Termasuk dengan kesopanan beraktivitas lainnya. Hanya saja, saya yang salah kaprah sendiri.
Saya pake tangan kiri, di masa kecil saya yang bikin saya akhirnya ditakutkan sejak kecil, "Iki bocah kok kidal, kudu piye?" 


Ibu : "Ibu itu dulu bingung, mau digimanain biar kamu nggak kidal. Eyang Tie selalu pesen ke Ibu, kamu itu harus dilatih biar nggak kidal. Sampe-sampe Ibu ke psikiater."
Saya : "Hah? Ngapain ke psikiater?"
Ibu : "Ya tanyaaa biar kamu nggak kidal itu nyembuhinnya gimana."
Saya : "...."
Ibu : "Akhirnya, Ibu mesti naruh tangan kamu di belakang kalo kamu tak gendong. Pokoknya, tak tahan biar nggak gerak yang tangan kiri."
Saya : "Lha kenapa?"
Ibu : "Lha tanganmu yang kiri itu lho, gerak terus!"


I found it interesting dude. Soalnya, selama ini yang saya tahu, saya kidal itu karena saya suka bermain sama tetangga sebelah rumah saya yang juga kebetulan kidal jadinya saya ketularan kebiasaannya itu.


Saya : "Bukannya aku kidal gara-gara Pak ****?"
Ibu : "Nggak. Kamu itu kidal dari kecil, nah terus ternyata kok ya kebetulan Pak **** itu juga kidal. Cocok! Kamu mainnya kesana tiap hari lagi. Tambah sumpek Ibu."
Saya : "Hahaha. Terus terus?"
Ibu : "Ya gitu, Ibu pokoknya cari cara terus biar kamu gak kidal. Sampe akhirnya, kamu di opname kan sakit waktu itu. Ibu minta susternya gimana caranya pokoknya harus disuntik di tangan kiri, biar tangan kananmu itu belajar."


Hahaha, saya jadi ingat. Waktu kelas 5 dulu, saya pernah nerbitin kumcer judulnya 'Fotografer Cilik' dan salah satu cerpen di dalamya ada yang berjudul 'Terima Kasih, Dokter!'. Dan di cerpen itu saya menceritakan gimana saya bisa belajar tangan kanan.
Iyap saya inget. Saya dari kecil emang sering banget keluar masuk rumah sakit, di opname karena thypus. Dan itu peluang buat Ibu saya biar saya bisa belajar tangan kanan. Hm, cerdik juga.
Saya nangis waktu itu, soalnya saya kan semangat-semangatnya belajar nulis, eh.. pas disuruh nulis 'bismillah' kok baru sadar yang diinfus tangan kiri, saya gabisa nulis dong.. panik dong.. nangis dong..

Tapi, akhirnya..
dari kejadian itu, saya jadi perlahan belajar untuk nulis pake tangan kanan. Alhamdulillah, pelan-pelan.. saya bisa nulis pake tangan kanan, horeeee!! :D

____________________


Sebenernya, kalo dibilang left-handed, itu nggak bisa. Soalnya, saya sekarang sudah bisa melakukan aktivitas dengan tangan kanan.
Tapi, kalo dibilang 'mantan' left-handed pun, itu lebih nggak bisa. Soalnya, saya juga sadar, nggak semua yang saya lakukan itu dengan tangan kanan.
Saya sampe sekarang nggak bisa menyapu, menggunting pake tangan kanan. Hehe. Aneh ya.
Terus kadang, saya kebablasan aja gitu nyahut-nyahut barang pake tangan kiri (kecuali ngasihin barang ke orang ya! *tapi saya kadang masih suka salah tangan*), atau makan pake tangan kiri kalo lagi mager gitu.
Oleh karena itu, saya memanggil diri saya ... 'half' left-handed :3

Tentu,
hidup di Indonesia, apalagi di Jawa, itu merupakan suatu kesulitan tersendiri kalo kamu mau beraktivitas pake tangan kiri. Abisnya, kita dianggap nggak sopan. Tapi ada enaknya, kadang.. kita dianggep pintar karena penggunaan tangan kiri itu. Padahal aslinya ya.. podo wae -_-

Nah..
That's why i wanna share some of my 'perspective' about being a half left-handed. And also, both of good and bad impacts.


1. Kamu nggak sopan
Di lingkungan saya, mayoritas adalah pengguna tangan kanan yang artinya saya minoritas.
Asli sih, misalnya saya keceplosan ngambil kuah sayur asem pake tangan kiri (karena kalo pake tangan kanan pasti tumpah), pasti langsung disorot sama mata-mata tajam mereka sambil agak ngebentak, "LAH! Kok pake tangan kiri?"
DHIER.

1.1 Kamu mendadak diperhatiin
Tetapi, setelah kamu disemprot sama pertanyan loh kok pake tangan kiri itu, kamu langsung ditanyain, "Lho, kamu sejak kapan kidal?"
Akhirnya ditanyain asal muasal pusar kehidupan/

2. Kamu adalah kaum setan
Gila ya, ngeri juga pas saya baca fakta-fakta orang kidal di internet.
Kita yang kidal ini, pengguna tangan kiri, pengguna tangan jelek ini, dianggep kaum setan coyyy. Walah.
Padahal, saya percaya, bahwa Tuhan gak akan menciptakan sesuatu yang sia-sia. Ganja aja yang dianggap tabu disini aja masih punya manfaat dan nilai guna, mengapa tangan kiri enggak?
Yaa, memang sih beberapa dakwah Rasul, itu nggak memperbolehkan umatnya menggunakan tangan kiri karena memang setan menggunakan tangan kirinya untuk melakukan apapun.
Kalo bicaraa soal dakwah Rasul, saya angkat tangan deh. Makanya saya juga agak meminimalisir penggunaan tangan kiri kalo memang masih bisa digunakan pake tangan kanan. Hwehe.

2.1 Kamu dianggep cerdas
Biarpun kamu dianggep kaum setan sama sebagian orang, santai. Masih ada sisa dari sebagian itu yang menganggap kamu beda. Kamu dianggapnya lebih cerdas. Denger-denger nih, katanya orang kidal itu bisa menyeimbangkan pemikiran gitu. Gak jarang juga tokoh-tokoh hebat itu pake tangan kiri. Baca-baca.... gitu sih.


3. Kamu pemalu dan emosional
Ini bener banget.
Kalau berdasarkan pengalaman saya, saya orangnya pemalu banget. Duluuuu. Terus saya sempat benar-benar yaaa gitu lah kalo kata orang-orang saya benar-benar extrovert parah, kelihatannya ceria terus padahal aslinya juga biasa aja :v Yeaahh namanya juga pipel.
Terus, kalo soal emosional, bener. Gak jarang orang kidal itu biasanya lebih emosional dan mudah tersinggung. Tapi, menurut saya.. kayaknya itu lebih masuk akal kalo dikaitin sama usia sihh. Soalnya usia-usia labil biasanya ya usia anak muda itu, yang menyebabkan mereka gampang bingung, gampang terombang-ambing dan gampang emosi. NGEHEHE.

3.1 Kamu unik 
Yaaa gitu.
Orang kidal biasanya punya keunikan masing-masing.
Keunikan saya?
HMMM APE YEH.
Hahaha, gatau deng.

Baca-baca (lagi) di internet, ada satu fakta bilang bahwa orang kidal biasanya itu pemberontak gitu. Ya cocoklah. Saya pemberontak parah, jarang nurut sama aturan, dan sering menyalahkan cacat sistem.

__________________________

Yaaaah
Itu sih fakta-fakta menarik yang cuma secuil.

Intinya apa yaaah..

Saya cuma mau menyampaikan aja..

Sebenernya nggak ada beda kok, antara left-handed atau right-handed. Sama-sama pengguna tangan kan :v
Bedanyaaa sih, kalau di Indonesia sejauh ini.. apalagi di Jawa,
left-handed itu semacam dipandang se'aneh' itu aja.

Kalau kalian nemuin temen kidal, tolong jangan di diskriminasi aja sih.
Kadang ada yang menjadikan itu sebagai bahan candaan belaka, tapi kadang ada juga yang masuk ke hati gitu.










APASIH ANJIR ASLI NGGA NYAMBUNG PARAH.









Happy Left Handed Day pokoknya!!!

Much love from ex-left handed that still use left-hand sometimes so that i'll call myself half left-handed and i'm....

fucking..

proud.

MUACH :*

Thursday, 8 March 2018

Soal Pengalaman dan Tujuan

We can buy things,
but not experience.


but the questions is,

is there any limits for an experience itself?

_____


Halo, kawula muda!

Ternyata ini adalah post pertama saya di tahun 2018 ya. Se produktif itu saya.

Di kesempatan ini, saya mau membagikan suatu... apa ya,
teori?

bukan sih.

apa ya..

materi?
lah, bukan juga.

apa ya..

hmm,
katakanlah sebuah pembelajaran, deh. Hehe iyain aja.


Jadi kemarin malam,
saya baru saja tertegur sama diri saya sendiri.
Atas apa?
Atas kesalahan saya yang ternyata kurang saya sadari saking asyiknya dan terlenanya saya sama apapun yang datang.

-

Banyak yang bilang, soal pengalaman.

Katanya,

Pengalaman harus dicari sebanyak-banyaknya,
biar kita tahu tentang apa yang kita enggak tahu.

Pengalaman harus dikumpulkan sampai melimpah, dari hal yang kecil sampai hal yang besar..
karena biar kita tahu ternyata hal yang kecil pun bisa sangat berarti dalam hidup kita.

Pengalaman harus dimaknai agar berarti,
biar kita tahu ternyata yang sia-sia itu bisa jadi makna.

Yah, kiranya begitu.

Saya pun mencari tahu, maksud dari 'mengumpulkan'-'mengejar'-'mendapatkan' banyak pengalaman itu sendiri. Esensinya apa, dan serumit apa.

Ternyata..

nggak rumit coy.

Pengalaman itu datang aja, tiap harinya.

Mayoritas pada bilang, sesuatu bisa disebut 'pengalaman' itu ketika ia mampu nampak dibanding yang lain. Padahal, nggak begitu. Menurut saya, itu peristiwa. Tapi kalau pengalaman, itu bukan 'yang lebih nampak'.
Pengalaman itu ya, apapun.

Saya setuju perihal memaknai pengalaman itu sendiri, kecil atau besar, penting atau tidaknya pengalaman itu. Jelas ada maksud dan maknanya dari tiap pengalaman yang kita punya.

Bagaimana sih, cara memaknai sebuah pengalaman?
Mudah saja.

Kita musti banget banget banget, jadi orang yang peka.

Kenapa?

Ya supaya pengalaman yang kecil itu bisa jadi berarti. Supaya kita bisa melihat hal-hal yang nggak terlihat atau terjamah, tapi terasa.
Percaya deh, kalau kita cuek mulu sama dunia, ya dunia susah kasih makna ke kita dari aktivitas yang tiap hari kita lakuin.
Beda kalau kita orangnya amat peka.

Ada nih, orang yang cuek banget, sampe-sampe ada orang celaka nun berlumuran darah pun dia kayak yang... "yah yaudah lah musibah."

Ada juga nih, orang yang peka banget, sampe-sampe dia lihat tanaman sambil bernafas aja kayak yang..... "wih gue berfungsi banget, karbondioksida gue kan segalanya buat tanaman-tanaman ini.'

Kalo kalian,

pilih jadi yang mana? :3

Kalau saya, pribadi....... lebih pilih yang terlalu peka daripada yang terlalu cuek :v
Karena jujur, dulu saat saya merasa se useless itu, saya lihatin tanaman, trus saya mikir... lahhh ngapain saya underestimate dan desperate banget, kan secara nggak langsung saya berguna dengan cuma menghasilkan karbondioksida. Hahaha, beruntung saya bisa sadar akan hal itu. Karena untuk nungguin tanaman bilang ke kita, "Eh, makasih ya, CO2 lo berfungsi banget buat hidup gua." itu agak lama sih ya.

_____

Karena saya prefer to be the one who cares a lot,
saya akhirnya sebegitu ambisinya sama suatu pengalaman.

Kecil atau buruk, saya tulis aja itu di jurnal saya.
Bermakna atau enggak, saya tulis aja.

*Oh ya, biasakan punya jurnal ya teman-teman! Biasakan menulis momen-momen penting dalam hidup kamu ke sebuah buku.
Karena, yahh maaf ini opini pribadi saya....
Daftar pustaka itu lebih valid daripada gambar, hahaa.
Jadi...

Tulis dulu aja.
Baru potret! :3

Oke, lanjut.
-

Usia remaja, adalah usia yang mateng-matengnya.........
...

mateng-matengnya untuk nyari pengalaman dan nyari identitas serta memastikan arah.

Dari nyari identitas,
kita perlu nyari pengalaman dulu.
Ketika udah terkumpul banyak pengalaman,
kita jadi tahu kita ini siapa dan nyamannya dimana.
Usai kita menemukan identitas kita siapa,
kita memastikan... bener nggak sih, arah yang kita pilih?
Akhirnya kita jalan deh.

Usia remaja, adalah usia dimana kita yaaah.. bebas untuk merasakan apapun..
Istilahnya kayak, "Ahh udah lahh, sini.. apapun yang masuk gue terima.. Nanti gue filter lagiii.."
gitu deh.
Karena justru kalau kita membatasi diri saat kita butuh tahu arah kita kemana, itu salah besar. Artinya kita nggak mau tahu seluas apa dan seberagam apa jalan kehidupan.

Boleh sih, pasrah sama Tuhan akan jalan yang ditentukan buat kamu.
Tapi, saya sendiri pun percaya, Tuhan lebih lega kalau kita ikut cari jalan.
Artinya, kita sudah usaha, gitu.
Selebihnya, jodoh atau enggak sama jalannya, itu tergantung kita ikhtiar atau enggak. Kan nanti Tuhan juga kasih jalur alternatif kalau kiranya jalan yang kita pilih sedang macet atau sedang kena renovasi. Hehe :D

Tapi,
saya baru sadar kemarin..
Iya, kemarin,

bahwa ternyata dalam mencari pengalaman itu juga perlu batas.
___

Kalau boleh sedikit self-centered, sebenernya di post ini (intinya) saya cuma mau bilang...
"JANGAN KAYAK SAYA."
Kenapa?
Kalau boleh sedikit self-centered tingkat dua, saya mau cerita sedikit..

Saya adalah seseorang yang sebenarnya sudah menemukan identitas saya sejak kelas 5 SD, bahwasanya saya bukan tipikal orang yang bisa dipaksa, dan itu berpengaruh ke pendidikan saya.
Saya dulu ambisius akan pendidikan akademik. Tetapi, menurun setelah saya tahu bahwa ternyata.......
bandel itu enaaaaaaaaakkk dan nikmaaaaattttt!

Alhamdulillah, saya pun juga beruntung karena punya orang tua yang sangat pengertian sedunia, sehingga saya nggak tahu harus bersyukur dengan cara apa tiap melihat wajah mereka.
Kelas 5 SD,
Bapak saya bilang,
"Kamu nggak usah kejar ranking. Nggak sebegitu penting. Jangan ranking 1, ya."

Legalah saya.
Saya bersyukur tiap hari karena hidup di keluarga yang enggak mencetak saya harus jadi apa.
Ketika saya tanya maksudnya apa, ternyata Bapak saya bilang,
"Katanya sih, menurut survei, orang yang ngejar ranking terus itu di kehidupan nyata malah gagal. Jangan deh. Cari pengalaman yang sebanyak-banyaknya aja. Jalani hobimu."

Dan masyaallah, makin sujudlah saya.
Akhirnya, saya mencari passion saya.
Saya ternyata suka berkecimpung di dunia sastra saat usia masih 10.
Saya menulis buku, saya produktif........di situ.
Sekolah, ya hanya sekolah. Begitu.
Pokoknya, makaryo. Gitu deh.

Di usia 11, saya beruntung mengetahui diri saya sudah bisa dapet penghasilan karena makaryo itu tadi.
Saya...... sering ngejek kakak saya, karena.....
saya dulu bisa cari duit sementara kakak saya yang masih SMA minta mulu ke orang tua. HAHAHA, massive apologize masku!!! :*

Lalu,
masuklah saya ke dunia SMP saya.
Dunia yang sangat liar menurut saya, karena saya cari identitas baru.

Di SMP,
saya tetap pada pendidikan akademik yang segitu-gitu aja.
Lalu, saya kenal dengan.....

MUSIK.

Buset.

Hancur saya.

Asik bangeeeetttt coooooyyyy -____-v

Saya gak bisa lepas.
Ternyata saya nemuin identitas kedua saya.

Sudah lama saya melihat kakak saya berkecimpung di dunia musik, dan saya nggak pernah nemuin asyiknya.
Saya bisa main drum waktu TK, tapi itu cuma... apasih, lagu 'Balonku' -_- Bayangin aja gimana.




*Eh jangan deh, gausah dibayangin. -_-v


Sampai suatu ketika saya lihat film 'August Rush' dan mengerti ternyata kayaknya musik itu asik.
Terus ternyata terbukti waktu SMP.

Karir saya di musik nggak semelejit kakak saya.
Saya punya band, dan waktu tahun 2013 lumayan disorot lah..........DI SEKOLAH :p

Hahaha.
Saya nggak pernah mikir soal 'berapa uang yang saya dapet', tapi 'semenyenangkan apa pengalaman yang saya dapet'.

Jadi, saya sangat menggunakan hati dalam bermusik ini. Bodoamat soal penghasilan, saya mikirnya, saya bisa cari itu dari kegiatan menulis saya.

Sampai bodohnya, saya terlena.
Saya produktif di musik aja, sampe-sampe.... saya suka kabur tiap temen-temen, guru, atau kerabat pada nanyain,

"Nadya buku barunya kapan?"

Ah wahai paku bumi dan jeruji besi,
stop.

Itu.
Anu.
Ah.
Seolah saya sudah vakum di dunia sastra.
Nggak pernah bikin buku baru lagi.
TAPI UDAH MENCOBA YA :v
Tapi gitu, berhenti di tengah jalan. Sampe halaman 30, macet.
Orang-orang nyebutnya writerblock. Tapi, bagi saya... saya sadar, itu cuma alibi belaka.......yang saya gunakan untuk mengatasnamakan ketidakproduktifan saya. HAHAHAHA.

Lalu, yaudah saya go with the flow aja.
Selalu bilang sama diri saya sendiri, "Santai, Nad. Lo nanti pasti punya ide, buat nulis lagi. Balik ke diri lo yang super produktif dan fokus."

NYATANYA....

ga terealisasi.

-

Terus,
Masuklah saya ke....
masa SMA.

Masa dimana kata orang-orang,

ini masa terbaik sepanjang masa.

Entah, saya membuang jauh-jauh pikiran itu saat kelas 10.
Saya selalu berpikir, "Bullshit. School sucks."

Lalu, saya menikmati masa SMA saya dengan mencoba jadi anak baik-baik pada umumnya.
Karena target saya di SMA, saya berkerudung, waktunya tobat, cari pengalaman tapi gaboleh nakal. Gitu deh.

Ternyata benar.
Saya yang gagap organisasi, ternyata bisa survive di organisasi di SMA.
Saya yang brutal sama aturan, ternyata bisa 'agak' nurut sama aturan.
Saya yang disrespect sama sistem pendidikan, ternyata bisa accepting as how it should be.

Sampai suatu ketika, musibah itu datang.
Dimana target saya ga terealisasi lagiiii.

Saya nakal, saya kena guru, saya dipandang sebelah mata gituuu.

Terus ya saya ga tinggal diam, dong. (walau awalnya saya mental breakdown ngeheheh)
Ya intinya saya mau buktiin aja gitu kalau saya gak seburuk itu.
Jadi walau saya nakal saya itu masih punya prestasi. Cie rada sosoan.

EH TAPI SAYA TERNYATA KEBABLASAN.
Saya akhirnya...........
berkecimpung di akademik.
Saya yang bodoamat sama sekolah tiba-tiba dapet peringkat, and it was like, holyshit fuck my life.

Jujur bro.
Saya langsung inget sama tutur Bapak saya yang nggak pernah nuntut ranking.
Saya tapi langsung inget.... kan itu yang bilang Bapak saya doang. Ibu enggak.
MATI.

Akhirnya, semenjak itu........
Ibu kayak sering nanyain nilai gitu.
Saya ya... ada sedikit pressure gitu kan akhirnya dengan cuma dibilang, 'Hayo pertahankan ya.'
Ah gitu deh.
Pokoknya saya berat buat bisa suka.
Karena, pada hakikatnya pendidikan kan gak musti diperingkatkan, dan peringkat nggak mampu menilai segalanya gitu.

Terus ternyata,
saya lumayan bisa asyik gitu jadi orang yang agak terorganisir pendidikannya. Saya jadi banyak tahu hal baru yang ternyata asyik juga dalam pendidikan, misalnya... saya jadi lebih kritis realistis nasionalis gitu hehehe.
Yaaah ketemu deh identitas ketiga saya.


Lalu, saya pengen dong bisa fokus di segala titik yang saya punya.
Saya berusaha menyeimbangkan,
non akademik dan akademik yang saya punya.

-

Sampai suatu ketika,
saya iseng mikir...

saya ini paling nyaman dimana?

Bodohnya, ini ga terjawab sama diri saya sendiri.

Saya yang terlalu terbuka sama pengalaman, jadi mudah goyah.

Iseng-iseng saya mikir soal kuliah dimana dan jurusan apa,
terus kerja jadi apa.
Nah,
sampai situ... puncaknya.

Saya cuma takut saya gak bisa sukses.
Karena arti sukses buat saya, adalah 
mengerjakan apa yang kita cintai, dan
mencintai apa yang kita kerjakan.


Yang saya salut,
Kakak saya (yang dulu saya olok-olokin)
sekarang sudah bisa saya kasih title 'sukses', karena dia kerja
di dunia yang dia cinta.

Dan yang saya takut,
saya (yang ngira saya sudah tahu identitas saya)
nanti susah milih hati saya berlabuh ke yang mana.

-

Lalu, kemarin
saya bertemu dengan... pelatih band saya xD

Saya ditegur.

yang kalau boleh jujur, itu merupakan suatu teguran hebat buat saya.

Saya ditanya, saya mau jadi apa.
Saya ditanya, saya sudah sampai mana.

Berat jawabnya.
Karena ternyata, sampai sini saya ternyata goyah.
Yang dulunya saya mantep ke satu titik, sekarang pecah kemana-mana.

Oke, saya cari pengalaman.
Tapi saya baru sadar ternyata pengalaman yang saya punya itu terlalu saya jadikan dasar.

Harusnya, biarkan itu berlalu lalang, yang penting, yang tertanam itu satu.
Sayangnya, mungkin di pertengahan saya nggak sadar kalau saya lupa kasih pupuk ke tujuan yang saya tanam, sampai akhirnya mereka layu sampai akar-akarnya. Jadi, mereka kecabut sama tanaman baru, dan begitu terus siklusnya.

Saya pernah sok-sokan meramal (tapi nggak sesok Dilan),
kalau siklus tujuan saya itu saya cuma main-main aja ke tujuan baru dan bakal balikan sama tujuan awal.

Nyatanya,
susah coy.

Benar adanya bahwa..

Semakin banyak yang kamu tahu,
semakin kamu sadar bahwa kamu itu enggak tahu apa-apa.

Sekarang saya jadi orang yang penuh pertimbangan, apa-apa mikir muluuuuuu sampai akhirnya ga terealisasi.
Padahal pernah, saya orangnya Bob Sadino banget.
Pake prinsip, kalo orang pintar mikir beribu cara untuk melangkah, orang goblok ya tinggal melangkah aja gak usah kebanyakan mikir.

Kata pelatih saya,

"Apa yang bisa bikin kakakmu sukses?




Dia fokus."


Saya tertegun.

Simple banget jawabannya. Tapi ngena.

Ya itu, yang kepikiran sama saya sampe sekarang.

Saya sok-sokan cari banyak pengalaman, sampe saya lupa tujuan saya kemana.
_____


Wahai teman-temanku,

Jangan jadi seperti daku.

Jangan lupa sama tujuan awalmu.

Jangan lupa cari identitasmu.

Jangan lupa mantapkan arahmu.

_____

Dan jangan lupa batasi dirimu kalau kamu sudah tahu identitasmu.
Kalau kamu sangat terbuka sama segala hal, jangan lupa membatasi dirimu kalau sudah tahu.
Jangan ditumpuk, lebih baik dipupuk.
Mengkokohkan tujuan dikala diserang banyak pengalaman baru itu ternyata lebih penting.
_____

Kalau kamu mengira saya menyesal,
yaaaa.. saya menyesal baru tahu betapa pentingnya ini.

Kalau kamu mengira saya terlambat,
Insyaallah, tidak.
Insyaallah tidak ada yang terlambat.

Kalau kamu tanya saya pilih identitas yang mana,


tunggu saja.


Bila umurku panjang,
sampai ketemu di masa depan!
Kita lihat saya dan kamu jadi identitas yang mana. Hehehe.


Jangan lupa mengerjakan yang kamu cintai dan mencintai yang kamu kerjakan! :D

Friday, 29 December 2017

Hal Kecil Yang (kita tidak tahu ternyata) Besar

Akhir tahun,

saya termenung.

Memikirkan betapa menakjubkannya 2017 ini.
Tapi, memang.. nggak ada yang lebih hebat dari 2015, men.

Entah kenapa,
nggak cuma saya (ternyata), yang merasa bahwa 2015 lah tahun terbaik sejauh ini.
Entah karena teknologi yang udah mentok di tahun tersebut, kemajuan yang udah cukup di tahun tersebut, perekonomian yang sudah mencukupi pula, krisis yang tidak merajalela, entahlah..
Tapi, kita berhak berjalan, waktu pun juga haruslah berlalu lalang.
Enak atau enggak enaknya kisah tiap tahun, ya... mau nggak mau, gimana kalau nggak nerima? :D

Tahun 2017 ini, saya belajar banyak hal, terutama tentang sebuah klise yang dulu saya remehkan tiap saya minta atau dimintai solusi.
Singkat cerita,
teman-teman dulu seringkali menceritakan masalahnya ke saya. Katanya, saya orang bisa memberi solusi *cuih*. Namanya juga masih SMP, masih proses menuju 'mengerti' kan. Dan sebuah solusi, dahulu..., kalau semakin belibet, dirasa semakin keren, dirasa semakin solutif, dirasa semakin punya rasa, dan akhirnya bisa diterima.
Saya dulu kalau kasih solusi panjang banget, ya mempan sih, tapi makin kesini.. saya ngerasa, solusi dalam sebuah masalah itu kuncinya ya cuma......kalau enggak, "Sabar" "Ikhlas" "Yang mudah menerima" "Bersyukur", udah.
Padahal, solusi-solusi itu seringkali direndahkan karena...... IT DIDN'T WORK! 
sebenernya... itu bukan it didn't work..
tapi, it didn't work...YET.

Dulu saya juga tipikal orang yang langsung, "Alaaa basi." Kalau dikasih solusi yang semacam begitu, karena.. ya apa ya.
Masalahnya panjang kali lebar, lah solusinya cuma 0 koma sekian. =))
Tapi makin kesini saya makin sadar, makin dewasa, makin rumit masalah yang dihadapi, pada akhirnya saya bisa nerima solusi-solusi itu perlahan. Dan itu yang jadi pedoman saya tiap saya ngadepin masalah.
Saya emang aneh, orangnya disembuhinnya lewat mental healing. Entah masalah begini ini bisa masuk ke ranah mental illness atau enggak, yang jelas... mental healing is really works for me.
Mental healing nya saya juga aneh, lewat kata-kata.
Akhir-akhir ini, saya dicekokin sama temen saya soal mindset "Wu Wei" atau istilahnya apa ya.... Doing without Doing gitu. Awalnya, saya ngerasa "Apa sih waweiwuwei?" nyatanya, saya kena juga terapinya. Saya jadi orang yang nyantai semenjak itu. Senyantai itu, senggak nuntut itu sama Tuhan, dan bisa sebersyukur itu baik dan buruknya hal yang terjadi.

Hehee.
Btw, ini salah kaprah.
Saya nggak mau ngomongin ini sebenernya.
Tapi,
ah..
mari kita lanjutkan aja. Maaf.
Manusia.
Hehe.

Suatu siang saya diberi pertanyaan sederhana, "Kalau kamu dikasih kesempatan buat ketemu satu orang dalam hidup kamu sebelum mati, kamu mau ketemu sama siapa?"
dan saya bingung jawabnya apa.. karena ini pertanyaan jenis apa, harus dijawab bagaimana.
Eh, nyatanya,.. pemberi pertanyaan menjawab "Kalau saya ingin diketemukan sama orang yang menolong saya waktu saya jatuh, saya lupa berterima kasih."

DARI SITU,
saya jadi......DHIEG.

Hehe.

Langsung, saya ingat seketika.. kejadian dimana saya benar-benar bersyukur bisa bertemu satu orang yang bisa mengubah saya jadi pemimpi seperti ini. Oiya, Nadya yang 4 tahun yang lalu, adalah Nadya yang sangat hopeless. Punya mimpi sih, sudah terealisasi, dan nyaman di zona nyaman *which is really dangerous*
Lalu, suatu siang di Jogja sekitar bulan Maret tahun 2014, saya mau ke Sewon usai dari Lempuyangan. Tahun 2014, belum ada Gojek atau Grab, saya pakainya Taksi Set*a K*w*n. Untung bukan Set*a N*o*v*a*n*t*o... eh, salah nyensor ya. Eh, kebanyakan bintang ya. Ngehehe:v
Saya duduk-duduk aja, nyantai.
Kemudian, terjalinlah percakapan sederhana.
Jogja kan penduduknya ramah, jadi saya paling suka banget kalau ngobrol sama orang sana, karena rasanya saya berlawanan banget sama diri saya yang pethakilan atau banyak tingkah. Hehe.
Percakapannya berjalan sesingkat ini :
Pak Supir : "Adek kelas berapa?"
Saya : "7 pak."
Pak Supir : "Dari?"
Saya : "Mojokerto, Pak. Hehe. Deket Surabaya."
Pak Supir : "Oh iya iya. Rencana mau ke SMA mana?"
Mendadak ini orang nanya tujuan kan. Saya iseng tuh karena lagi gamblang.
Saya : "Nggak tahu pak, saya bingung. Saya mau cari sekolah yang musiknya unggul." *Nadya pada jamannya ngeband dan mengesampingkan pendidikan=))
Pak Supir : "Oh, kenapa nggak sekolah di Jogja aja?"
Saya : "Hehe, pengen sih pak. Sudah nyaman juga sama Jogja. Tapi, jauh. Belum tentu dibolehkan juga."
Pak Supir : "Di SMA 3 tuh, dek. Bagus, lho. Musiknya juga unggul. Segalanya, deh unggul."
Saya cuma ber oh oh ria. Karena enggak ngerti SMA 3 itu dimana, dan entahlah...

Dan suatu ketika, saya ngobrol sama sahabat saya di suatu malam, dia punya mimpi untuk ke SMA Taruna Nusantara, yang memang diakui keemasannya sampai sekarang juga. Dan iseng-iseng, saya browsing soal SMA yang dikata Bapak Taksi waktu itu. Ternyata, hasilnya...... *browsing aja Padmanaba and see how great it is:')*

Saya tiba-tiba terlonjak gitu, semacam ada energi yang bikin saya mau buat bermimpi. Rasanya.....
NIKMAAAAATT WOIIII :'))))
Ternyata punya mimpi itu asyik!
Sampai sekarang pun, saya tetap jadi pemimpi yang nggak se hopeless dulu! :'D

Tapi, sayang banget, di kesekian kalinya saya ke Jogja pada 2014, saya nggak lagi menemukan Bapak itu. Dan yang saya sesali, saya belum berterima kasih.
-
Yaaa begitu.., di akhir tahun 2017 ini, saya niatnya cuma mau mengajak kita semua merenungi, tentang pelajaran terbesar yang harusnya kita dapat sejak dulu dan kita terapkan sejak dulu.
Yaitu..
BERTERIMA KASIH.

Ya, sesimpel itu.
Terima kasih.

Kata yang sebenarnya sudah fasih,
tapi kita terus saja masih,
menahan-nahan untuk mengasih.

Hehe.

Seriiiiiinnnggggkali, kita lupa, hal terkecil dan termudah yang bisa kita kasih adalah 'terima kasih'.
Hal kecil lah, bertanya.. dan diberi jawabannya.. terus kita lupa terima kasih.
Apa lagi?
Oh iya, bertemu dengan seseorang dan ada yang bisa dibawa pulang-secara nonmateriil;pelajaran baru, ide baru, prinsip baru, dsb;, terus live along the life aja seakan-akan hidup kamu fine without everyone you've met.
Padahal nih, kenyataannya, yang bisa ngebuat hidup lebih berwarna itu adalah orang-orang yang kamu temuin tiap hari.
Sadar nggak? Nggak kan?
Ya gitu emang, susah :v

Sadar nggak sih, kita ini masih, apa ya.. tidak mengerti atau bahkan tidak menyadari hal terkecil dalam hidup, yang padahal... sesuai peribahasa juga 'sedikit-sedikit menjadi bukit'. Itu nggak hanya berlaku nominal, tapi juga dalam hampir segala hal, seperti contohnya moral.
Kalau saja, kita bisa memupuk terima kasih hingga tertumpuk, ya.. kita nggak akan jadi manusia yang tertimpuk dan minta di puk-puk.

Lah Nad, kenapa di puk-puk? Ya soalnya saking krisis moralnya. -_-

Hehe.

Kenapa menurut saya berwarnanya hidup ini bisa datang dari gimana kita bertemu sama tiap orang? Simple.
Cause everyone lives, and their life has its own story, has its own taste, has its own way.

Terasa dan kentara sekali memang hal ini di 2017 saya.
Saya bertemu banyak orang baru, atau mungkin bertemu orang lama, yang saya baru tahu orang ini bagaimana.
Dulu mungkin saya terlalu menutup diri untuk menerima pelajaran baru dari tiap orang yang saya temui, dan akhirnya lupa berterima kasih kepada Tuhan saya bisa ditemukan dengan seseorang, siapapun itu.

Nyatanya, di 2017 ini, setelah saya mengalami tragedi hebat di Januari yang pernah saya ceritakan juga tapi nggak detail karena yah.......*PFFFTT*, saya jadi belajar bisa berterima kasih kepada Tuhan, ternyata semenakjubkan itu bersyukur bisa dipertemukan dengan orang-orang yang (bahkan mereka tidak tahu mereka) sedikit banyak mengubah hidup saya.

Kamu begitu tidak?

Jujur saja,
saya sebenarnya bukan orang yang peka dengan beberapa hal-hal kecil, :v tapi.. ketika saya peka dan saya jadi tahu akan hal itu, saya menghargai bukan main.
Alhasil, mudah saja, saya jadi tahu lho, ternyata memaknai hidup itu caranya mudah.
Banyak yang mengeluh, hidupnya tidak punya makna, atau mungkin tidak punya rasa, padahal.. hanya dari bertemu siapapun yang kamu temui tiap harinya, hidup itu sebenarnya punya rasa, dan punya makna.
Makna dari tiap pertemuan, dari tiap lisan yang bercerita, dari tiap cerita yang kamu dengar, dari pendengaran yang kamu rasakan, dan rasa yang akhirnya punya makna.

Mungkin, mereka yang kamu temui tidak sadar bahwa dari cerita mereka, atau dari hal yang mereka beritahu ke kita, bisa jadi berarti buat kita. Mengapa? Yahhh, suatu pelajaran terkadang datangnya nggak terjamah oleh kesadaran semata. Itu datang seketika, amat tiba-tiba.
Kita hanya harus pintar-pintar menyadari bahwa sebenarnya hal kecil ini berarti juga dan patut
disyukuri dan diterima dengan kasih.

Saya saat ini lebih bisa menghargai momen dimana saya bisa bertemu seseorang dan belajar banyak darinya, siapapun itu, dimanapun itu.
Bertemu dengan orang yang sangat antagonis pun bisa saya maknai, karena darinya saya jadi pribadi yang kuat.
Bertemu dengan orang yang munafik pun seringkali terjadi di kehidupan, tapi apalah guna menolak? Kan itu juga nggak sepayah itu. Dari orang munafik pun, saya bisa belajar banyak.
Dari orang yang saya puja nyatanya hanya memberi lara, juga bisa jadi indah kalau dimaknai dengan tepat.
Bahkan dari pelacur pun, yang mungkin bagi banyak orang tidak ada harganya, saya bisa belajar banyak.
Dan dari orang yang dikata jahat pun, gila... kita hanya belum tahu, bahwa... seperti kutipan favorit yang saya suka, "the nicest people i've ever met is covered with tattoos than people who go to church every Sunday"

Ya itu lho,
sadarsi akan esensi.

Simple kan,
berterima kasih, dan maknai tiap hal yang kamu temui dari masing-masing orang.
Nggak banyak yang kita lakukan, cukup menjalani hidup dengan semestinya, dan maknai apa yang kita dapat tiap hari, baik dan buruknya hal itu... dan berterima kasih.

Jangan lupa berterima kasih ya, baik dan buruknya orang itu, hari itu, momen itu.
Kalau malu untuk berterima kasih, ucapkan dalam hati, dan terima kasih sama Tuhan alias bersyukur sudah diberi kesempatan untuk ketemu sama orang yang bisa ngasih pelajaran tanpa disadari.
Bukan masalah kok, jika mereka yang kamu anggap bisa memberi pelajaran ke kamu tidak tahu betapa berartinya mereka bagimu, tetapi setidaknya.. kamu yang mampu menjadikan hal itu berarti atau tidak.


Terima kasih untuk kalian semua yang membuat Nadya jadi begini.
Yang terkasih, maupun yang bukan terkasih:'D
Selamat Tahun Baru,
jangan lupa jadi pribadi yang lebih baik,
yang mampu terbiasa menghargai hal kecil hingga tahu akhirnya hal kecil itu ternyata besar! :)

Selamat menyadari tiap hari, selamat memaknai sebuah esensi!! ;)

trite

i alw ays won der are The Smiths re ally be honest , for the h e avenly fe e li n gs o f de ad by yo u r sid e. bec ause by on ly seeing ...