----------------------------------------------------------------------------
WAKTU.
Pernah kepikiran nggak? Bahwa sebenernya yang paling berpengaruh di hidup kita adalah 'waktu'. Yah, bukan satu-satunya 'paling', sih. Tapi.. satu diantara banyak 'paling' berpengaruh dalam hidup kita.
Kenapa waktu?
Sejauh ini, dari banyak rasa sakit yang kurasakan, serta cerita pahit yang kulalui, yang bisa kusimpulkan adalah.. bahwa waktu menyembuhkan segalanya. Rasa sakit. Semua orang pernah merasakannya. Tentu saja. Bahkan, harimu tidak akan sempurna tanpa luka. Mereka selalu hadir dan siap untuk menggagalkan kebahagiaan di titik 10 dari skala 1 sampai 10 mu. Selalu ada konflik di setiap harimu. Bertengkar dengan kedua orang tuamu, sakit hati karena perkataan temanmu atau pujaan hatimu, dan segalanya yang berawal dari hal yang kita kira hanya bercanda.
Dari waktu..
Beberapa luka yang telah tercipta, terkadang tidak bisa kita hilangkan bekasnya. Dan bahkan, beberapa masih ada yang sanggup menjatuhkan tangis meski hanya setetes. Yang lebih konyolnya lagi, ada seribu luka yang mampu tertutup dengan satu senyuman simpul di bibir.
Oleh waktu..
Milidetik, detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, semua berjalan sesuai aturannya, sesuai prosedurnya. Tawaku hari ini, tak seindah tawaku kemarin. Dan siapa yang tahu, barangkali tangisku esok ternyata lebih kencang daripada tangisku hari ini. Entahlah, siapa yang peduli?
Sebut saja waktu..
Yang terkadang kita sendiri bahkan tak pernah sadar bahwa perannya sungguh besar, sungguh penting. Entah untuk suatu keajaiban, harapan, memori atau bahkan tragedi.
Dari waktu..
Kuciptakan sesuatu bersamamu. Aku bahkan tidak tahu aku bisa sebodoh ini masuk dan terjun ke dalam tipuan hebatmu. Yang kukira, dari waktu, kita ciptakan memori. Tapi ternyata, karena waktu, aku sadar.. yang kita ciptakan adalah tragedi.
Kuluangkan waktu, demi kamu, untuk kamu dan karena kamu. Dan kali ini aku tidak habis pikir, ternyata semua konjungsi itu sanggup menjadi jembatan kata 'kamu'.
Dari waktu.. Aku tahu, betapa menyiksanya menunggu. Betapa menyiksanya melihat kamu bersama pujaanmu. Betapa menyiksanya untuk melengketkan senyum palsu ini di bibirku. Betapa menyiksanya mendengar kata-kata indahmu yang bukan untukku namun untuk pujaanmu. Betapa menyiksanya untuk menahan air mata yang menggebu. Betapa menyiksanya untuk mengeluarkan tawa paksa yang tabu.
Tapi kemudian, karena waktu.., kamu datang menggantikan penyiksaan itu menjadi sebuah keindahan.
Penyiksaan itu tergantikan, kesabaranku terbalaskan. Awalnya mungkin aku memasangkan senyum palsu itu, namun semua itu tidak lagi berlaku saat kamu datang membantu. Kunikmati masa-masa indah itu. Kita mungkin tidak bersama, tapi.. aku masih berharap pada waktu.
Sampai akhirnya, memori itu berubah menjadi tragedi. Aku tersentak dengan kehadirannya. Aku merasa terusir olehnya. Aku ingin pergi, namun kakiku masih tetap menancap pada jebakan itu. Aku ingin berteriak, namun rasanya suaraku hilang dilalap kesunyian dari lubuk hatiku yang paling dalam.
Berharap pada waktu.. akupun tetap menanti hingga kakiku bisa lepas dari jebakan itu. Hingga akhirnya, karena waktu.. kakiku pun terlepas dari jebakan itu. Alas kakiku tidak selengkap awalnya, banyak bagian yang masih tertancap pada jebakan itu. Namun, aku tetap pergi. Menapakkan kakiku ke jalan yang lebih lurus dan bukan lagi jalan yang mengarahkanku menuju tragedi.
Dari waktu, aku sadar.. Aku terlalu mengutamakan hal yang sebenarnya bukanlah prioritas. Aku menatap ke depan, melihat masa-masa yang akan datang, namun aku gagal, yang kulihat hanyalah putih, silau, dan sungguh sangat terang.
Dari waktu, aku sadar.. Harusnya aku lebih bisa menghargai orang lain yang ada di sekitarku. Kulihat sekelilingku, banyak tangan yang sudah siap untuk menarikku dari kejatuhanku ini. Banyak yang siap untuk membantuku bangkit. Banyak yang siap untuk menciptakan tawa yang sesungguhnya dariku. Banyak yang siap untuk menciptakan tangis haru dan bukan tangis lara. Sesaat, kulihat jebakan itu, ada kamu diatasnya, sedang tertawa lepas diatas sebuah kejadian naas.
Awalnya aku diam saja, dan waktu membuatku memutuskan bahwa aku akan tetap memujamu dalam diam. Namun tawamu saat itu sungguh menggangguku. Telingaku panas. Kamu seperti iblis, dan yang kurasakan hanyalah takut. Takut untuk terjebak lagi, takut akan tragedi lagi, dan takut akan kamu.
Aku tidak sanggup. Waktu mengatakan padaku aku harus pergi.
Aku pun meraih tangan-tangan itu, kemudian aku bangkit lagi. Sinar itu kemudian datang, ternyata aku ada diatas bukit. Bukit yang sangat tinggi, dan matahari saat itu bersinar sungguh cerah. Ayah dan Ibuku berada di bukit seberang, melambaikan tangan padaku dengan senyuman bangganya. Begitu juga sahabat-sahabatku, ternyata mereka ada di belakangku. Aku menitikkan air mata haru. Kulihat sekelilingku, banyak sekali orang yang rela menyerahkan tangannya untuk kutarik. Kulihat sekeliling, dan kutemukan hal terindahnya...tidak ada kamu disana.
Hai waktu, kini aku sadar. Aku terlalu membuang-buang waktu.
-NRA, 2016.